Translate

Alun-alun dan Tata Kota Jawa dalam Bingkai Sejarah: Dulu hingga Sekarang

Alun-alun Kidul Yogyakarta 1920
Seluruh kota di Indonesia hampir bisa dipastikan memiliki alun-alun, baik difungsikan sebagai bagian dari pusat kota maupun sekedar mengngambarkan identitas. Namun tahukah anda bahwa alun-alun yang ada sekarang merupakan representasi dari tata kota zaman dahulu? Bukan hanya sekedar bagian dari kota, dalam konsep jawa alun-alun memiliki makna tersendiri. Bagi masyarakat Jawa alun-alun melambangkan konsep Ketuhanan, atau dalam ruang kosong ada kehidupan yang dilambangkan dengan pohon beringin. Begitu juga dengan konsep kerajaan besar yang menghadap samudera dengan pelabuhan besarnya, dan membelakangi gunung yang memberikan kemakmuran (Mardiono, 2009). 
Konsep inilah yang sebetulnya menentukan fungsi dan kehadiran laun-alun dalam suatu kota di Jawa.  Pola ini tentunya mengikuti pola kerajaan pada masa Majapahit yang hingga kini masih terlihat melalui Keraton Surakarta dan Yogyakarta.Uraian dibawah ini mencoba untuk menlusuri konsep yang mendasari kehadiran alun-alun di masa lampau.

ALUN-ALUN PADA JAMAN PRAKOLONIAL DI JAWA.
Dimasa lalu sejak jaman Mojopahit sampai Mataram (abad 13 s/d 18), alun-alun selalu menjadi bagian dari suatu komplek Kraton. Kraton dalam masyarakat tradisional masa lalu merupakan pusat pemerintahan dan sekaligus merupakan pusat kebudayaan. Sebagai pusat pemerintahan dimana raja tinggal, maka Kraton dianggap sebagai miniatur dari makrokosmos1. Komplek Kraton biasanya diberi pagar yang terpisah dari daerah lainnya pada suatu ibukota kerajaan, Batas pagar ini tidak selalu ditafsirkan melalui sistim pertahanan, tapi dapat ditentukan juga dari aspek kepercayaan/keagamaan. Untuk itu kita harus mengerti dulu hubungan antara kepercajaan/keagamaan dengan kota/komplek Kraton.

Denah alun-2
tata kota kerajaan Majapahit
Manusia yang religius seperti halnya mayarakat agraris yang religius di Jawa ini biasanya membagi ruang menjadi dua jenis, ruang yang homogen atau sakral (disucikan) disatu pihak dan ruang yang inhomogen atau yang tidak teratur (bisa disebut profan) dilain pihak. Di alam sakral segalanya teratur, baik tingkah laku manusia maupun struktur bangunannya. Sedang di ruang yang inhomogen semuanya tidak teratur, karena tidak/belum disucikan (Eliade, 1959:20-65).
Wilayah Kraton selalu dianggap sebagai wilayah yang homogen (Sakral), yang teratur atau harus diatur. Manifestasi dari keinginan inilah yang melahirkan konsepsi ruang dari susunan sebuah Kraton. Seperti dijelaskan di depan bahwa Kraton dianggap sebagai miniatur dari makrokosmos. Manifestasinya adalah sebagai berikut: tempat tinggal raja yang biasa disebut sebagai ‘dalem ageng’ diibaratkan sebagai puncak Mahameru (atau gunung Semeru di Jawa). Disinlah kekuasaan dan wibawa raja dirasakan sangat besar. Di daerah lingkaran di luarnya disebut ‘negara agung’ (negara besar), batas luarnya adalah pelataran dalam. Disini kekuasan raja masih terasa besar. Di luar ‘negara agung’ dinamakan kawasan ‘mancanegara’ (luar daerah). Ini sudah agak diluar, tapi belum keluar dari batas teras Kraton. Di tempat inilah biasanya raja menerima tamu. Diluarnya lagi disebut Pasisir. Batas luarnya sudah mencapai Siti Inggil, bangunan di batas alun-alun dengan Kraton. Di Pesisir raja makin jarang muncul, hanya beberapa kali dalam setahun misalnya bila ada perayaan tertentu. Daerah paling luar disebut ‘sabrang’ (daerah seberang). Didaerah inilah bangsal pertemuan untuk para Bupati ditempatkan. Jadi jelaslah disini meskipun tempatnya paling luar tapi ‘alun-alun’ masih terletak di dalam komplek tembok/pagar Kraton2.
Di dalam Kraton Majapahit seperti dilukiskan oleh Prapanca dalam Negarakretagama3, di sebelah Utara dari komplek Kraton terdapat dua alun-alun. Masing-masing dinamakan Bubat (terkenal sebagai tempat pertarungan sengit antara utusan kerajaan pajajaran dengan pasukan Gajah Mada), yang luasnya kira-kira 1 km2, dengan lebar kurang lebih 900.00 M dan alun-alun Utara yang disebut sebagai Waguntur.
Meskipun keterangan Prapanca dalam Negarakretagama kurang begitu jelas, tapi masih bisa ditangkap betapa pentingnya peran alun-alun sebagai bagian dari pusat kota. Fungsi kedua alun-alun ini agak berbeda. Lapangan Bubat lebih bersifat profan . Pesta rakyat yang diadakan setiap tahun sekali pada bulan caitra (Maret/April) diselenggarakan di lapangan Bubat. Pada 3-4 hari terakhir pertunjukan dan permainan diselenggarakan dengan kehadiran dari raja. Fungsi lapangan Waguntur lebih sakral. Lapangan ini terletak di dalam pura raja Majapahit, yang digunakan untuk lapangan upacara penobatan atau resepsi kenegaraan. Di lapangan Waguntur ini terdapat Siti Inggil, serta komplek pemujaan (kuil Siwa) yang terletak di sebelah Timur dari lapangan Waguntur. Ini lebih mirip dengan alun-alun Lor Kraton Yogyakarta atau Surakarta, hanya komplek pemujaan pada alun-alun Lor diganti dengan mesjid yang letaknya di sebelah Barat dari alun-alun.  
Model yang masih bisa kita lihat sebagai prototype alun-alun kota di Jawa pada jaman yang lebih muda adalah alun-alun Yogyakarta dan Surakarta bekas perpecahan kerajaan Mataram dimasa lampau. Baik di Yogyakarta maupun di Surakarta terdapat dua buah alun-alun yaitu alun-alun Lor dan Kidul4. Di masa lalu alun-alun Lor berfungsi menyediakan persyaratan bagi berlangsungnya kekuasaan raja. Alun-alun Kidul berfungsi untuk menyiapkan suatu kondisi yang menunjang kelancaran hubungan kraton dengan universum. Alun-alun Kidul dapat juga melambangkan kesatuan kekuasaan sakral antara raja dan para bangsawan yang tinggal disekitar alun-alun.
Alun-alun Lor Yogyakarta pada masa lalu berbentuk ruang luar segi empat berukuran 300x265 meter. Di tengahnya terdapat dua buah pohon beringin dan di sekelilingnya terdapat 64 pohon beringin yang ditanam dengan jarak sedemikian rupa sehingga harmoni dengan bangunan disekitarnya. Permukaan alun-alun ini ditutupi oleh pasir halus. Dua buah pohon beringin ditengah alun-alun tersebut dikelilingi oleh pagar segi empat. Orang Jawa menyebutnya sebagai ‘Waringin Kurung’. Nama Waringin berasal dari dua suku kata “wri” dan “ngin”. “Wri” berasal dari kata “wruh” yang berarti mengetahui, melihat. “Ngin” berarti memikir, tindakan penjagaan masa depan (Pigeaud, 1940:180). Kedua kata tersebut melambangkan kematangan manusia yang arief bijaksana, karena orang Jawa berangapan bahwa kegiatan bijaksana berasal dari kosmos. Pohon beringin dengan demikian melambangkan kesatuan dan harmoni antara manusia dengan universum. Kesatuan ini tidak timbul dengan sendirinya. Pohon beringin melambangkan langit dan permukaan tanah yang persegi empat didalam pagar kayu mengartikan tugas manusia untuk mengatur kehidupan di bumi dan di alam, supaya harmoni dengan hukum universum (Pigeaud, 1940:180).
Alun-alun jaman Mataram juga digunakan oleh warga (rakyat biasa) untuk bertemu langsung dengan raja, guna meminta pertimbangan atau sesuatu kasus perselisihan. Orang harus memakai pakaian dan penutup kepala putih dan harus duduk menunggu diantara kedua pohon beringin sampai diperbolehkan menghadap raja. Perbuatan seperti ini disebut “pepe”.
Di sebelah Barat alun-alun terdapat mesjid. Di halaman mesjid tersebut terdapat dua buah bangsal terbuka untuk dua buah perlengkapan gamelan. Yang satu disebut “Kyai Sekati” dan yang lain disebut “Nyai Sekati”. Keduanya dimainkan bergantian dimainkan hanya pada 3 upacara keagamaan, yaitu: Garebeg Maulud, Garebeg Sawal dan Garebeg Besar. Di seberang mesjid terdapat bangunan yang disebut ‘Pamonggangan” tempat untuk menyimpan gamelan yang lain. Dahulu pada jaman Mataram, setiap hari Sabtu sore (di luar Kasultanan diadakan pada hari Senin sehingga sering disebut Seton atau Senenan) diadakan pertunjukan ‘Sodoran’5 di alun-alun. Gamelan tersebut dimainkan sewaktu ada pertunjukan itu. Di sebelah bangunan “Pamonggangan” tersebut terdapat sebuah kadang harimau dan binatang buas lainnya. Pada hari Sabtu sore selain pertunjukan Sodoran kadang-kadang juga diadakan pertunjukan perkelahian antara banteng dan harimau, yang selalu diakhiri dengan kemenangan banteng. Lambang kekuasaan raja adalah banteng (dalam bahasa Jawa disebut Maesa), sedangkan lambang kekacauan adalah harimau (dalam bahsa Jawa disebut Simo). Pada jaman penjajahan banteng sering dilambangkan dengan orang Jawa dan harimau sebagai orang Belanda. Dalam pertunjukan ini banteng menang, dan orang Belanda ikut bertepuk tangan, karena mereka tidak mengerti !
Ada juga dipertunjukkan membunuh harimau (simbol kekacauan), secara beramai-ramai, yang dinamakan ‘rampog macan”. Jadi alun-alun yang pada mulanya merupakan pelataran sakral yang melambangkan harmoni antara langit yang dilambangkan sebagai pohon beringin dan bumi yang dilambangkan sebagai pasir halus, dimasa ini telah bertambah artinya.
Kesimpulanya alun-alun pada jaman prakolonial bisa berfungsi sebagai (Santoso, 1984) :
  1. Lambang berdirinya sistim kekuasaan raja terhadap rakyatnya.
  2. Tempat semua upacara keagamaan yang penting (adanya hubungan penting antara Kraton-Mesjid dan Alun-Alun).

ALUN-ALUN PADA JAMAN KOLONIAL
Untuk menjelaskan peran alun-alun pada jaman kolonial, disini dicoba untuk melihatnya dari sudut susunan pemerintahan, karena hubungannya yang sangat erat sekali. Salah satu unsur yang dikagumi orang mengenai kolonialisme Belanda di Indonesia adalah sistim pemerintahannya yang tidak langsung (indirect rule). Pemerintah kolonial Belanda dalam memerintah Nusantara selain menggunakan pejabat resmi seperti Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, Kontrolir dan sebagainya, juga menggunakan pejabat Pribumi untuk berhubungan langsung dengan rakyat, seperti Bupati, Patih, Wedana, Camat dan lainnya. Unsur pemerintahan Pribumi ini biasanya disebut sebagai Pangreh Praja (yang berkuasa atas kerajaan - orang Belanda memakai istilah ‘Inlandsch Bestuur’).
Dalam sistim pemerintahan ‘Inlandsch Bestuur’ pejabat Pribumi yang tertinggi adalah ‘Regent’ atau biasa disebut sebagai Bupati, yang membawahi sebuah Kabupaten. Siapa sebenarnya Bupati ini pada jaman kolonial? Di dalam sistim pemerintahan Mataram terdapat 4 macam daerah yaitu (Kartodirjo, 1987:11) :
  1. Daerah Inti yang disebut Negara atau Kuthagara.
  2. Negara Agung.
  3. Mancanegara
  4. Pasisir.
Daerah Macanegara dan Pasisir, penguasanya dinamakan Bupati. Mereka adalah raja di daerahnya (Kartodirjo, 1987:12). Pada th. 1746 daerah Pasisir jatuh ketangan Kompeni, maka Bupati-Bupati nya menjadi Bupati Kompeni. Bupati Pesisir ini menjadi semacam ‘leverancier’ Kompeni. Mereka menyediakan barangbarang serta tenaga manusia untuk Kompeni. Para Bupati ini dengan leluasa mengembangkan kehidupan istana dengan meniru raja-raja Mataram di lingkungan masing-masing. Pada abad ke 19 setelah runtuhnya VOC, pemerintahan di Nusantara diserahkan kepada pemerintah kolonial Belanda. Para Bupati ini kemudian disebut sebagai Bupati Gubermen, yang menjadi pegawai yang digaji oleh pemerintah kolonial. Lalu apa hubungannya antara sistim pemerintahan ini dengan alun-alun?
Rumah Bupati di Jawa selalu dibangun untuk menjadi miniatur Kraton di Surakarta dan Yogyakarta. Di depan rumah Bupati juga terdapat pendopo yang berhadapan langsung dengan alun-alun, yang sengaja diciptakan oleh para Bupati untuk bisa menjadi miniatur dari Kraton Surakarta atau Yogyakarta. Bahkan di alun-alun di pusat kota Kabupaten ini juga diadakan perayaan semacam: sodoran, grebegan dan sebagainya. Rupanya pemerintah Kolonial Belanda melihat unsur phisik tradisional ini sebagai suatu potensi yang baik untuk dikembangkan dalam sistim pemerintahan tidak langsung (indirect rule) yang diterapkan di Nusantara ini.
Dalam sistim pemerintahan kolonial, Jawa dibagi menjadi 3 Propinsi, 18 Karesidenan yang masing-masing dibawahi oleh soerang residen, serta 66 Kabupaten yang masing-masing dikuasi secara bersama oleh seorang Asisten Residen (orang Belanda) dan seorang Bupati (Pribumi). Pada pusat kota Kabupaten inilah dibakukan semacam lambang pemerintahan bersama antara Asisten Residen dengan Bupati dalam bentuk phisik. Ujudnya adalah bentuk phisik tradisional berupa rumah Bupati dengan pendopo didepannya. Di depan rumah Bupati tersebut terdapat alun-alun yang ditumbuhi oleh dua buah atau kadang-kadang sebuah pohon beringin.

ALUN-ALUN PASCA JAMAN KOLONIAL
Setelah kemerdekaan, alun-alun masih menjadi unsur yang cukup dominan di kota-kota Kabupaten sampai sekarang. Pada jaman pra kolonial antara alunalun, kraton dan mesjid mempunyai konsep keselarasan yang jelas. Maksudnya komplek tersebut memang merupakan ujud dari konsep keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos, yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa. Oleh sebab itu meskipun terdapat transformasi bentuk alun-alun dari jaman Mojopahit sampai Mataram, tapi terlihat adanya kontinuitas konsep pemikiran tentang penataannya. Pada jaman kolonial kelihatan adanya diskontinuitas tentang pemikiran konsep penataan alun-alun. Tapi secara halus Belanda berhasil membuat konsep baru dalam penataan alun-alun kota untuk disesuaikan dengan sistim pemerintahannya pada waktu itu. Sehingga muncul istilah kota-kota “Indisch”, karena munculnya kebudayaan ‘Indisch’, yaitu percampuran antara kebudayaan Jawa dan Kebudayaan Belanda.

Pranata Ekonomi Masa Jawa Kuno

Secara umum pelaku ekonomi pada masa Jawa kuno  dalam beberapa keterangan yang ada terbagi ke dalam

empat katagori, yaitu pegawai pemungut pajak, pengrajin dan pekerja seni, pedagang, serta petani dan petugas pertanian.

Pemungut Pajak
Sebagai pejabat kerajaan, pemungut pajak ditata dengan rapi dari tingkat desa sampai tingkat pusat. Ditingkat pusat, terdapat tiga kelompok pejabat yang hampir bersama-sama, sang mana katrini, yang terdiri dari pengangkur, tawan, dan tirip. Ketiga pejabat ibi bertanggungjawab atau melakukannya atas rakai. Di bawah pejabat ini terdapat wadwa, parujar, pangurang, pihujang, dan kalang. Dilihat salam susunan hirarki jabatan, tiga serangkai pangkur-tawan-tirip sepertinya termasuk kedalam pejabat pusat sebagaimana tercermin dalam nama-namanya menunjukan nama watek, bukan nama desa.

Kitab Nawanatya yang menyebutkan susunan pemerintahan penting seperti rakai kanuruhan, fungsi utamanya adalah sebagai kepala protocol kerajaan dalam tatacara upacara kerajaan. Selain itu ia juga harus mengurus pedagang-pedagang asing, menyembut dan memenuhi segala kebutuhan tamu-tamu raja. Maka untuk itu rakai kanuruhan harus mengetahui ‘semua bahasa’ dikatakan juga ia bisa memungut uang dari pedagang asing itu,  oleh karena itu pejabat ini memiliki kewenangan untuk memungut pajak dari para pedagang asing.

Pejabat lain yang masih samar kedudukannya adalah Mangilala Drwya haji arti harfiyahnya adalah ‘mengambil milik raja” orang yang masuk kedalam pejabat ini ditugaskan untuk memungut pajak atas perintah raja.

Para Perajin dan Pekerja Seni
Pengetahuan dan penamaan sepesifikasi dari pekerja seni banyak diketahui dari pengaturan pajak yang dibebankan kepada mereka atau dari barang-barang yang mereka hasilkan. Mereka yang termasuk golongan ini dalam prasasti-prasasti dikenal  dengan berbagai istilah diantranya adalah merka yang diduga sevbagai kelompok pengajin adalah angukir (pengukir/pemahat), andyun (pembuat tempayan), angendi (pembuat kendi),  apande salwir ning apande (segala macam penempa logam), undhagi (tukang kayu), angapus (pembuat benang atau tali),  amaranggi (pembuat hiasan pada benda-benda terbuat dari kayu), anghapu (pembuat kapur), anghanam-anam/agawi kisi, agawi runggi (pembuat keranjang), anghareng (pembuat arang).

Sedangkan mereka yang termasuk kategori pekerja seni adalah anglukis (pelukis), awayang (pemain wayang), men-men (pemain pertunjukan kelling), ijo-ijo (pemain lawak), amidu (penyanyi), amancagah (pembawa berita),  anggoda (penggoda, penari ronggeng),  dan  arketan (pemain topeng). Di samping mereka terdapat jenis-jenis profesi lain seperti amahang/manwring/manambu/mangubar, mangala (tukang celup, kadang-kadang dengan warna-warna tertentu); angula (pembuat gula); dan jalagraha (pengangkut air) (Sedyawati 1994:292)

Pedagang
Data mengenai para pedagang dalam prasasti biasanya dikatakan dengan pengaturan mengenai batas-batas barang yang tidak dikenai pajak dan yang kena pajak. Petunjuk mengenai kemunghkinan adanya kelompok-kelompok pedagang dapat diketahui dari jenis-jenis barang yang merekaperdagangkan atau cara-caranya barang-barang dagangan tersebut diangkut. Mengenaia jenis barang-barang dagangan ini  terdapat  tidak kurang dari 31 macam. Meskipun demikian tidak berarti setiap pedagang mempunyai spesialisasi untuk jenis barang dagangan tertentu. Daftar jenis barang tersebut dapat dikelompokan menjadi empat macam, yakni jenis makanan dan bumbu-bumbuan, jenis sandang, perlengkapan umum dan hewan.

Termasuk dalam kelompok makanan dan bumbu-bumbuan terdiri dari  bawang (bawang), bras (beras), garam/wuyah (garam), gula, inga (minyak), pipakan/kapulaga (jahe, tanaman jahe); wwahan/pucang sireh (buah-buahan terutama pinang), pja (ikan laut/asin).
 
Termasuk golongan sandang adalah wasana (pakaian), amahang/kasumbha/pamaja (bahan pewarna), kapas, lawe (benang). Kategori perlengkapan umum adalah galuhan (batu permata), gangsa (perunggu), anganam (keranjang); labeh (kulit penyu), makacapuri (kotak sirih); mangawari (permata), masayang/tamwaga (peralatan tembaga), tambra (lempeng tembaga), timah, wsi (besi).

Termasuk dalam kategori hewan adalah hewan besar yang terdiri dari kbo (kerbau), sapi, wdus (kambing), celeng (babi), dan unggas terutama andah (itik). Sebagaian barang-barang di atsa dapat diangkut dengan berbgai cara, yakni dipikul, dinaikan diatsa punggung kuda, diangkut denga gerobak, atau dinaikan diatas perahu.

Diluar itu terdapat sekelompok orang yang melakukan usaha dalam bentuk jasa pelayanan khususnya pelayanan angkutan, baik menggunakan tenaga hewan, misalnya kuda (atitih) maupun alat angkut lain seperti gerobak (galungan) atau pedati (mapadati), dan perahu (parahu).

Petani dan Petugas Pertanian
Dalam sumber-sumber prasasti sebutan bagi petani selalu dikaitkan dengan wilayah tempatnya hidup. Istilah wanua atau thani mengacu kepada suatu wilayah dimana para petani atau penduduk dsa tinggal. Sebutan untuk penduduknya adalah anak wanua atau anak thani. Dalam prasasti-prasasti banyak yang menyinggung permasalaha pertanian diantranya dalah adanya yang menyebutkan macam-macam jenis tanah yang dapat didayahgunakan oleh para petani, diantaranay yang paling sering disbutkan adalah sawah (sawah), gaga (ladang), kbuan (kebun), renek (rawa). Dari pengelompokan tersebut kitanya terdapat sedikit petunjuk bahwa diantra para petani tersebut dapat dikelompokan berdasarkan kepemilikan tanah dan lahan garapannya.

Pada masa majapahit muncul istialah baruyang berkaitan dengan urusan pertanian, misalnya ambekel tuwuh (pengurus hasil bumi), asedahan thani (petugas yang berhubungan dengan masalah tanah dan pajak), angucap gawe thani (kepala kegiatan wilayah).

Sebagai bagian dari tatanan masyarakat kerajaan, anak wanua/thani menjalankan fungsi utama sebgai pemasok utama dari perekonomian kerajaan. Dari segi kependududkan, kita tidak memiliki cukup data untuk menjelaskan jumlah dan tingkat kepadatannya. Namun, dapat diyakini bahwa sebagai keseluruhan petani merupakan pterbesar dari seluruh warga kerajaan. Wilayah inti petani di jawa Timur berada disekitar lembah sungai Solo dan Brantas.

Tata Letak Kota, Istana, dan Desa di Majapahit

Kota Majapahit di Trowulan
Kakawin Nagarakretagama, pupuh VIII-XII, merupakan sumber tertulis yang penting untuk mengetahui gambaran Kota Majapahit sekitar tahun 1350 M. Kota pada masa itu bukanlah kota dalam arti modern, demikian pernyataan Pigeaud (1962), ahli sejarah kebangsaan Belanda, dalam kajiannya terhadap Nagarakretagama karya Prapanca. Ia menyimpulkan, Majapahit bukan kota yang dikelilingi tembok, melainkan sebuah komplek permukiman besar yang meliputi sejumlah komplek yang lebih kecil, di mana satu sama lain dipisahkan oleh lapangan terbuka. Tanah-tanah lapang digunakan untuk kepentingan publik, seperti pasar dan tempat-tempat pertemuan.Tembok batu merah tebal lagi tinggi mengitari keraton. Itulah benteng Keraton Majapahit. Pintu besar di sebelah barat yang disebut "Purawuktra" menghadap ke lapangan luas. Di tengah lapangan itu mengalir parit yang mengelilingi lapangan. Di tepi benteng "Brahmastana”, berderet-deret memanjang dan berbagai-bagai bentuknya. Di situlah tempat tunggu para perwira yang sedang meronda menjaga Paseban.


Sketsa rekonstruksi Kota Majapahit oleh Maclaine Pont (1924) berdasarkan Nagarakretagama dan hasil penggalian.

Itulah salah satu cuplikan dari Nagarakretagama yang menggambarkan salah satu bagian dari ibu kota Majapahit seperti yang digambarkan oleh Prapanca. Di mana reruntuhannya? Sebagian besar para pakar arkeologi memercayai dan menempatkannya di Trowulan. Mengapa Trowulan? Hal ini bermula dari penelitian yang dilakukan oleh Wardenaar atas perintah Raffles pada 1815 untuk mengamati tinggalan arkeologi di daerah Mojokerto. Dalam laporannya ia selalu menyebutkan, “in het bosch van Majapahit” untuk tinggalan budaya yang ditemukan di Mojokerto, khususnya Trowulan.

Raffles sendiri dalam bukunya History of Java menyebutkan “remains of gateway at Majapahit called Gapura Jati Pasar” ketika menyebut Candi Waringin Lawang, dan menyebut “one of the gateway of Majapahit” ketika menyebut Candi Brahu. Anggapan-anggapan tersebut kemudian diyakinkan lagi oleh Maclains Pont, seorang arsitek Belanda, yang menggali hampir seluruh penjuru Trowulan. Hasilnya berupa sejumlah besar pondasi bangunan, saluran air yang tertutup dan terbuka, serta waduk-waduk. Uraian Nagarakretagama tentang Kota Majapahit telah dicari lokasinya di lapangan oleh Maclains Pont dari tahun 1924-1926. Ia berhasil membuat sketsa “kota” Majapahit di Situs Trowulan. Benteng kota Majapahit digambarkan dalam bentuk jaringan jalan dan tembok keliling yang membentuk blok-blok empat persegi. Secara makro, bentuk Kota Majapahit menyerupai bentuk mandala candi berdenah segi empat dan terdapat gapura masuk di keempat sisinya, sedangkan keraton terletak di tengah-tengah. Selain itu terdapat kediaman para prajurit dan punggawa, pejabat pemerintah pusat, para menteri, pemimpin keagamaan, para kesatria, paseban, lapangan Bubat, kolam segaran, tempat pemandian, dan lain-lain.
Situs Trowulan sendiri berada dalam wilayah Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sekitar 70 km ke arah barat daya dari Surabaya. Dalam areal seluas 9 x 11 km itu dapat dilihat bangunan-bangunan bata berupa candi, gapura, kolam, dan salurah-saluran air di muka tanah maupun di bawah tanah, yang seluruhnya mengindikasikan sebuah kota yang sudah cukup maju untuk masa itu.
Mengenai seberapa luas kota Majapahit dan dimana batas-batasnya, menurut penelitian terakhir berdasarkan temuan yoni, adalah di sebelah barat daya Trowulan, di Labak Jabung, sebelah tenggara Trowulan, dan Klinterejo di sebelah timur laut Trowulan. Sedangkan titik ke empat mestinya di Dusun Tugu dan Bodas di Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang. Dengan ditemukannya situs arkeologi pada titik keempat, dapat dihitung luas bidang dari keempat titik, sehingga diperkirakan luas bidang Kota Majapahit sekitar 11 x 9 km, yang memanjang utara-selatan.
Pada tahun 1981 keberadaan kanal-kanal dan waduk-waduk di Situs Trowulan semakin pasti diketahui melalui studi foto udara yang ditunjang oleh pengamatan di lapangan dengan pendugaan geoelektrik dan geomagnetik. Dari hasil penelitian kerja sama Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) dengan Ditlinbinjarah, UGM, ITB, dan Lapan, diketahui bahwa Situs Trowulan berada di ujung kipas aluvial vulkanik yang sangat luas, memiliki permukaan tanah yang landai dan baik sekali bagi tata guna tanah (Karina Arifin, 1983). Waduk-waduk Baureno, Kumitir, Domas, Kraton, Kedungwulan, Temon, dan kolam-kolam buatan seperti Segaran, Balong Dowo, dan Balong Bunder, yang semuanya terdapat di Situs Trowulan, letaknya dekat dengan pangkal kipas aluvial Jatirejo.
Melalui pengamatan foto udara inframerah, ternyata di Situs Trowulan dan sekitarnya terlihat adanya jalur-jalur yang berpotongan tegak lurus dengan orientasi utara-selatan dan timur-barat. Jalur-jalur yang membujur timur-barat terdiri atas 8 jalur, sedangkan jalur-jalur yang melintang utara-selatan terdiri atas 6 jalur. Selain jalur-jalur yang bersilangan tegak lurus, ditemukan pula dua jalur yang agak menyerong. "Berdasarkan uji lapangan pada jalur-jalur dari foto udara, ternyata jalur-jalur tersebut adalah kanal-kanal, sebagian masih ditemukan tembok penguat tepi kanal dari susunan bata," ujar Karina Arifin.
Lebar kanal-kanal berkisar 35-45 meter. Kanal yang terpendek panjangnya 146 meter, yaitu jalur yang melintang utara-selatan yang terletak di daerah Pesantren, sedangkan kanal yang terpanjang adalah kanal yang berhulu di sebelah timur di daerah Candi Tikus dan berakhir di Kali Gunting (di Dukuh Pandean) di daerah baratnya. Kanal ini panjangnya sekitar 5 kilometer. Hal yang menarik, sebagian besar situs-situs di Trowulan dikelilingi oleh kanal-kanal yang saling berpotongan, membentuk sebuah denah segi empat yang luas, dibagi lagi oleh beberapa bidang segi empat yang lebih kecil.

Istana dan Raja
Berita Cina yang ditulis oleh Ma Huan sewaktu mengikuti perjalanan Laksamana Zheng He (Cheng Ho) ke Jawa memberikan penjelasan mengenai keadaan masyarakat Majapahit pada abad XV. Antara lain, bahwa kota Majapahit terletak di pedalaman Jawa. Istana raja dikelilingi tembok tinggi lebih dari 3 zhang, pada salah satu sisinya terdapat “pintu gerbang yang berat” (mungkin terbuat dari logam). Tinggi atap bangunan antara 4-5 zhang, gentengnya terbuat dari papan kayu yang bercelah-celah (sirap).
Raja Majapahit tinggal di istana, kadang-kadang tanpa mahkota, tetapi sering kali memakai mahkota yang terbuat dari emas dan berhias kembang emas. Raja memakai kain dan selendang tanpa alas kaki, dan ke mana pun pergi selalu memakai satu atau dua bilah keris. Apabila raja keluar istana, biasanya menaiki gajah atau kereta yang ditarik lembu. Penduduk Majapahit berpenduduk sekitar 200-300 keluarga. Penduduk memakai kain dan baju, kaum lelaki berambut panjang dan terurai, sedangkan perempuannya bersanggul. Setiap anak laki-laki selalu membawa keris yang terbuat dari emas, cula badak, atau gading

Tata Kota
Kerajaan Majapahit, selain mempunyai ibu kota sebagai pusat pemerintahan dan tempat kedudukan raja serta para pejabat kerajaan, juga merupakan pusat magis bagi seluruh kerajaan. Ditinjau dari konsep kosmologi, wujud ibu kota Majapahit dianggap sebagai perwujudan jagad raya, sedangkan raja identik dengan dewa tertinggi yang bersemayam di puncak Gunung Mahameru (Semeru).
Keberadaan Kota Majapahit menurut konsep tersebut memiliki tiga unsur, yaitu:
1.    unsur gunung (replikanya dibentuk candi),
2.    unsur sungai (replikannya dibentuk kanal),
3.    unsur laut (replikanya dibentuk waduk).

Nagarakretagama menyebutkan bahwa susunan bangunan di istana meliputi tempat tinggal raja dan keluarganya, lapangan manguntur, pemukiman para pendeta, dan rumah-rumah jaga pegawai kerajaan. Rumah di dalam istana indah, bagus, dan kuat. Ibu kota Majapahit dikelilingi oleh raja-raja daerah dan kota-kota lain. Di sekitar istana tempat kedudukan raja terdapat tempat-tempat kedudukan raja-raja daerah (paduka bhatara) serta para pajabat/pembesar kerajaan.

Pupuh VIII
1.    Tersebut keajaiban kota: tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu barat
       bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon
       brahmastana berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di situlah
       tempat tunggu para tanda, terus menerus meronda menjaga paseban.

2.    Di sebelah utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir. Di sebelah timur: panggung luhur, lantainya berlapis batu, putih-putih mengkilat. Di bagian utara, di selatan pecan, rumah berjejal jauh memanjang, sangat indah. Di Selatan jalan perempat: balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra.

3.    Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah, menghadap padang
       watangan. Yang meluas ke empat arah; bagian utara paseban pujangga dan menteri.
       Bagian timur paseban pendeta Siwa-Buddha, yang bertugas membahas upacara.
       Pada masa gerhana bulan Palguna, demi keselamatan seluruh dunia.

4.    Di sebelah timur, pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa. Di selatan
       tempat tinggal wipra utama, tinggi bertingkat, menghadap panggung korban. Bertegak
       di halaman sebelah barat; di utara tempat Buddha bersusun tiga. Puncaknya penuh
       berukir; berhamburan bunga waktu raja turun berkorban.

5.    Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat dengan pintu, itulah paseban. Rumah
       bagus berjajar mengapit jalan ke barat, disela tanjung berbunga lebat. Agak jauh di
       sebelah barat daya: panggung tempat berkeliaran para perwira. Tepat di tengah-
       tengah halaman bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau.

6.    Di dalam, di selatan, ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang kedua.
       Dibuat bertingkat-tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri. Semua
       balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela. Para prajurit silih
       berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar tutur.

Pupuh XII
1.    Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng. Timur tempat tinggal
       pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja. Selatan Buddha-sangga dengan
       Rangkanadi sebagai pemuka. Barat tempat para arya, menteri, dan sanak-kadang
       adiraja.

2.    Di timur tersekat lapangan, menjulang istana ajaib. Raja Wengker dan rani Daha
       penaka Indra dan Dewi Saci. Berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani
       Lasem. Tak jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta.

3.    Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi. Di situ menetap patih Daha,
       adinda Sri Paduka di Wengker. Batara Narpati, termashur sebagai tulang punggung
       praja. Cinta-taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak.

4.    Di timur laut, rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada. Menteri wira, bijaksana,
       setia bakti kepada negara. Fasih bicara, teguh tangkas, tenang, tegas, cerdik, lagi
       jujur. Tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda negara.

5.    Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus. Sebelah timur perumahan
       Siwa, sebelah barat Buddha. Terlangkahi rumah para menteri, para arya, dan satria.
       Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura.

6.    Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang-cemerlang. Menandingi bulan 
       dan matahari, indah tanpa upama. Negara-negara di Nusantara dengan Daha bagai
       pemuka. Tunduk menengadah, berlindung di bawah kuasa Wilwatikta.

Sistem Perairan Masa Majapahit
Bangunan air yang ditemukan di masa Majapahit adalah waduk, kanal, kolam, dan saluran air, yang sampai sekarang masih ditemukan sisa-sisanya. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa pemerintah Majapahit membuat bangunan air tersebut untuk kepentingan irigasi pertanian dan sarana mengalirkan air sungai ke waduk: penampungan dan penyimpanan air, serta pengendali banjir.

Hasil penelitian membuktikan terdapat sekitar 20 waduk kuno yang tersebar di dataran sebelah utara daerah Gunung Anjasmoro, Welirang, dan Arjuno. Waduk Baureno, Kumitir, Domas, Temon, Kraton, dan Kedung Wulan adalah waduk-waduk yang berhubungan dengan Kota Majapahit yang letaknya di antara Kali Gunting di sebelah barat dengan Kali Brangkal di sebelah timur. Hanya waduk Kedung Wulan yang tidak ditemukan lagi sisa-sisa bangunannya, baik dari foto udara maupun di lapangan.
Waduk Baureo adalah waduk terbesar yang terletak 0,5 km dari pertemuan Kali Boro dengan Kali Landean. Bendungannya dikenal dengan sebutan Candi Lima. Tidak jauh dari Candi Lima, gabungan sungai tersebut bersatu dengan Kali Pikatan, membentuk Kali Brangkal. Bekas waduk ini sekarang merupakan cekungan alamiah yang ukurannya besar dan dialiri oleh beberapa sungai. Seperti halnya Waduk Baureno, waduk-waduk lainnya sekarang telah rusak dan yang terlihat hanya berupa cekungan alamiah, misalnya Waduk Domas yang terletak di utara Waduk Baureno; Waduk Kumitir (Rawa Kumitir) yang terletak di sebelah barat Waduk Baureno; Waduk Kraton yang terletak di utara Gapura Bajangratu; dan Waduk Temon yang terletak di selatan Waduk Kraton dan di barat daya Waduk Kumitir.
Di samping waduk-waduk tersebut, di Trowulan terdapat tiga kolam buatan yang letaknya berdekatan, yaitu Segaran, Balong Bunder, dan Balong Dowo. Kolam Segaran memperoleh air dari saluran yang berasal dari Waduk Kraton. Balong Bunder sekarang merupakan rawa yang terletak 250 meter di sebelah selatan Kolam Segaran. Balong Dowo juga merupakan rawa yang terletak 125 meter di sebelah barat daya Kolam Segaran. Hanya Kolam Segaran yang diperkuat dengan dinding-dinding tebal di keempat sisinya, sehingga terlihat merupakan bangunan air paling monumental di Kota Majapahit.
Kolam Segaran pertama kali ditemukan oleh Maclaine Pont pada 1926. Kolam ini berukuran panjang 375 meter dan lebar 175 meter dan dalamnya sekitar 3 meter, membujur arah timurlaut–baratdaya. Dindingnya dibuat dari bata yang direkatkan tanpa bahan perekat. Ketebalan dinding 1,60 meter. Di sisi tenggara terdapat saluran masuk, sedangkan di sisi barat laut terdapat saluran keluar menuju ke Balong Dowo dan Balong Bunder.
Foto udara yang dibuat pada tahun 1970-an di wilayah Trowulan dan sekitarnya memperlihatkan dengan jelas adanya kanal-kanal berupa jalur-jalur yang bersilangan saling tegak lurus dengan orientasi utara-selatan dan barat-timur. Juga terdapat jalur-jalur yang agak menyerong dengan lebar bervariasi, antara 35-45 m atau hanya 12 m, dan bahkan 94 m yang kemungkinan disebabkan oleh aktivitas penduduk masa kini.
Kanal-kanal di daerah pemukiman, berdasarkan pengeboran yang pernah dilakukan, memperlihatkan adanya lapisan sedimentasi sedalam 4 m; dan pernah ditemukan susunan bata setinggi 2,5 meter yang memberi kesan bahwa dahulu kanal-kanal tersebut diberi tanggul, seperti di tepi kanal yang terletak di daerah Kedaton yang lebarnya 26 meter diberi tanggul. Kanal-kanal itu ada yang ujungnya, berakhir di Waduk Temon dan Kali Gunting; dan sekurang-kurangnya tiga kanal berakhir di Kali Kepiting, di selatan Kota Majapahit. Kanal-kanal yang cukup lebar menimbulkan dugaan bahwa fungsinya bukan sekadar untuk mengairi sawah (irigasi), tetapi mungkin juga untuk sarana transportasi yang dapat dilalui oleh perahu kecil.
Kanal, waduk, dan kolam buatan ini didukung pula oleh saluran-saluran air yang lebih kecil, yang merupakan bagian dari sistem jaringan air di Majapahit. Di wilayah Trowulan, gorong-gorong yang dibangun dari bata sering ditemukan dengan ukurannya cukup besar, yang memungkinkan orang dewasa untuk masuk ke dalamnya. Candi Tikus yang merupakan pemandian (petirtaan) misalnya, mempunyai gorong-gorong yang besar untuk menyalurkan airnya ke dalam dan ke luar candi. Selain gorong-gorong atau saluran bawah tanah, banyak pula ditemukan saluran terbuka untuk mengairi sawah-sawah, serta temuan pipa-pipa terakota yang kemungkinan besar digunakan untuk menyalurkan air ke rumah-rumah, serta selokan-selokan dari susunan bata di antara sisa-sisa rumah-rumah kuno. Hal ini menunjukkan bagaimana masyarakat Majapahit telah mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap sanitasi dan pengendalian air.
Melihat banyak dan besarnya bangunan-bangunan air, dapat diperkirakan bahwa pembangunan dan pemeliharaannya membutuhkan suatu sistem organisasi yang teratur. Hal ini terbukti dari pengetahuan dana teknologi yang mereka miliki, yang memungkinkan mereka mampu mengendalikan banjir dan menjadikan pusat kota terlindungi serta aman dihuni.
Sampai sekarang, baik dari prasasti maupun naskah kuno, tidak diperoleh keterangan mengenai kapan waduk dan kanal-kanal tersebut dibangun serta berapa lama berfungsinya. Rusaknya bangunan-bangunan air tersebut mungkin diawali oleh letusan Gunung Anjasmoro tahun 1451, yang membawa lapisan lahar tebal yang membobol Waduk Baureno dan merusak sistem jaringan air yang ada. Candi Tikus yang letaknya di antara Waduk Kumitir dan Waduk Kraton bahkan seluruhnya pernah tertutup oleh lahar.
Keadaan kerajaan yang kacau karena perebutan kekuasaan ditambah dengana munculnya kekuasaan baru di daerah pesisir, mengakibatkan kerusakan bangunan air tidak dapat diperbaiki seperti sediakala. Erosi dan banjir yang terus menerus mengakibatkan daerah ini tidak layak huni dan perlahan-lahan ditinggalkan oleh penghuninya.

Perkampungan dan Dusun
Tidak diketahui secara pasti bagaimana bentuk rumah tradisional peninggalan Kerajaan Majapahit yang sesungguhnya. Dari sejumlah artefak yang ditemukan yang berkaitan dengan okupasi kerajaan, sulit rasanya untuk memberikan contoh baku prototipe rumah zaman Majapahit. Namun, ada segopok artefak dari tanah liat bakar berupa miniatur rumah dan temuan struktur bangunan yang diduga sebagai tipikal rumah Majapahit.
Ekskavasi di Trowulan tahun 1995 menunjukkan adanya struktur bangunan berupa kaki dari tanah yang diperkuat dengan susunan batu yang berspesi tanah setebal 1 cm, membentuk sebuah batur rumah. Denah batur berbentuk empat persegi panjang, dengan ukuran 5,20 x 2,15 meter dan tinggi sekitar 60 cm. Di sisi utara terdapat sebuah struktur tangga bata yang terdiri dari 3 anak tangga. Dari keberadaan dan tata letak tangga, dapat disimpulkan bahwa rumah ini menghadap ke utara dengan deviasi sekitar 90 55 derajat ke timur, seperti juga orientasi hampir dari semua arah struktur bangunan yang ada di Situs Trowulan.
Pada kedua sisi kaki bangunan terdapat selokan terbuka selebar 8 cm dan dalam 10 cm. Depan kaki bangunan selokan itu mengikuti bentuk denah bangunan tangga. Selokan tersebut dibangun dari satuan-satuan bata sehingga struktur selokan lebih kuat, dan airnya bisa mengalir lebih cepat. Di sekitar kaki bangunan ditemukan lebih dari 200 pecahan genteng dan 70 pecahan bubungan dan kemuncak, serta ukel (hiasan dari terakota yang ditempatkan di bawah jurai atap bangunan).
Struktur halaman bangunannya amat menarik dan unik. Tanah halaman ditutup dengan struktur yang berkotak-kotak, dan masing-masing kotak dibatasi dengan bata yang dipasang rebah di keempat sisinya, dan di dalam kotak berbingkai bata tersebut dipasang batu-batu bulat memenuhi seluruh bidang. Tutupan semacam ini berfungsi untuk menghindari bila halaman menjadi becek ketika hujan turun. Belum pernah ditemukan penutup halaman yang semacam ini, kecuali yang agak serupa ditemukan di selatan situs Segaran II.
Dari temuan itu dapat diasumsikan bahwa tubuh bangunan didirikan di atas batur setinggi 60 cm. Kemungkinan bangunan dibuat dari kayu (papan) dan bukan dari bata karena di sekitar areal bangunan tidak ditemukan bata dalam jumlah yang besar sesuai dengan volume bangunannya. Mungkin tubuh bangunan dibuat dari kayu (papan) atau anyaman bambu jenis gedek atau bilik. Tiang-tiang kayu penyangga atap tentunya sudah hancur, agaknya tidak dilandasi oleh umpak-umpak batu yang justru banyak ditemukan di Situs Trowulan, karena tak ada satu pun umpak yang ditemukan di sekitar bangunan.
Tiang-tiang rumah mungkin diletakkan langsung pada lantai yang melapisi permukaan batur. Atap bangunan diperkirakan memunyai sudut kemiringan antara 35-60 derajat, ditutup dengan susunan genteng berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 24 x 13 x 0,9 cm dengan jumlah sekitar 800 -1.000 keping genteng yang menutupinya. Bagian atas atap dilengkapi dengan bubungan dan kemuncak, serta pada ujung-ujung jurainya dipasang hiasan ukel.
Rekonstruksi bangunan rumah yang didasarkan atas bukti yang ditemukan di situs tersebut, dapat dilengkapi melalui perbandingan dengan bentuk-bentuk rumah beserta unsur-unsurnya yang dapat kita lihat wujudnya dalam: (1) artefak sezaman seperti pada relief candi, model-model bangunan yang dibuat dari terakota, jenis-jenis penutup atap berbentuk genteng, sirap, bambu, ijuk; (2) rumah-rumah sederhana milik penduduk sekarang di Trowulan; dan (3) rumah-rumah di Bali.
Lepas dari status sosial penghuni rumah ini, ada hal lain yang menarik, yaitu penduduk Majapahit di Trowulan, atau setidak-tidaknya penghuni rumah ini, telah menggabungkan antara segi fungsi dengan estetika. Halaman rumah ditata sedemikian rupa untuk menghindari genangan air dengan cara diperkeras dengan krakal bulat dalam bingkai bata. Di sekeliling bangunan terdapat selokan terbuka yang bagian dasarnya berlapis bata untuk mengalirkan air dari halaman. Dilengkapi pula dengan sebuah jambangan air dari terakota yang besar dan kendi berhias, yang memberikan kesan sebuah halaman rumah yang tertata apik. Di sebelah timur terdapat beberapa struktur bata yang belum berhasil diidentifikasi. Mungkin rumah yang ukurannya relatif kecil ini hanya merupakan salah satu komplek. Bangunan yang berada dalam satu halaman seluas 200-an meter persegi tersebut dikelilingi oleh pagar seperti yang dapat kita saksikan di Bali sekarang.

Kepustakaan
Muljana, Slamet. 2006. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Yogyakarta: LKiS.

SEJARAH SINGKAT DARWINISME


Sekilas Tentang Darwinisme
Sebelum menelaah berbagai penderitaan dan bencana yang ditimpakan Darwinisme kepada dunia, marilah kita mempelajari sejarah Darwinisme secara sekilas. Banyak orang percaya bahwa teori evolusi yang pertama kali dicetuskan oleh Charles Darwin adalah teori yang didasarkan atas bukti, pengkajian dan percobaan ilmiah yang dapat dipercaya. Namun, pencetus awal teori evolusi ternyata bukanlah Darwin, dan, oleh karenanya, asal mula teori ini bukanlah didasarkan atas bukti ilmiah.
Pada suatu masa di Mesopotamia, saat agama penyembah berhala diyakini masyarakat luas, terdapat banyak takhayul dan mitos tentang asal-usul kehidupan dan alam semesta. Salah satunya adalah kepercayaan tentang "evolusi". Menurut legenda Enuma-Elish yang berasal dari zaman Sumeria, suatu ketika pernah terjadi banjir besar di suatu tempat, dan dari banjir ini tiba-tiba muncul tuhan-tuhan yang disebut Lahmu dan Lahamu. Menurut takhayyul yang ada waktu itu, para tuhan ini pertama-tama menciptakan diri mereka sendiri. Setelah itu mereka melingkupi keseluruhan alam semesta dan kemudian membentuk seluruh materi lain dan makhluk hidup. Dengan kata lain, menurut mitos bangsa Sumeria, kehidupan terbentuk secara tiba-tiba dari benda tak hidup, yakni dari kekacauan dalam air, yang kemudian berevolusi dan berkembang.
Kita dapat memahami betapa kepercayaan ini berkaitan erat dengan pernyataan teori evolusi: "makhluk hidup berkembang dan berevolusi dari benda tak hidup." Dari sini kita dapat memahami bahwa gagasan evolusi bukanlah diawali oleh Darwin, tetapi berasal dari bangsa Sumeria penyembah berhala.

Gambar yang memperlihatkan dewa air bangsa Sumeria. Sebagaimana masyarakat Sumeria, para Darwinis juga meyakini bahwa kehidupan muncul secara kebetulan dari air. Dengan kata lain, mereka menganggap air sebagai tuhan yang menciptakan kehidupan.
Di kemudian hari, mitos evolusi tumbuh subur di peradaban penyembah berhala lainnya, yakni Yunani Kuno. Filsuf materialis Yunani kuno menganggap materi sebagai keberadaan satu-satunya. Mereka menggunakan mitos evolusi, yang merupakan warisan bangsa Sumeria, untuk menjelaskan bagaimana makhluk hidup muncul menjadi ada. Demikianlah, filsafat materialis dan mitos evolusi muncul dan berjalan beriringan di Yunani Kuno. Dari sini, mitos tersebut terbawa hingga ke peradaban Romawi.
Kedua pemikiran tersebut, yang masing-masing berasal dari kebudayaan penyembahan berhala ini, muncul lagi di dunia modern pada abad ke-18. Sejumlah pemikir Eropa yang mempelajari karya-karya bangsa Yunani kuno mulai tertarik dengan materialisme. Para pemikir ini memiliki kesamaan: mereka adalah para penentang agama.
Demikianlah, dan yang pertama kali mengulas teori evolusi secara lebih rinci adalah biologiwan Prancis, Jean Baptiste Lamarck. Dalam teorinya, yang di kemudian hari diketahui keliru, Lamarck mengemukakan bahwa semua mahluk hidup berevolusi dari satu ke yang lain melalui perubahan-perubahan kecil selama hidupnya. Orang yang mengulang pernyataan Lamark dengan cara yang sedikit berbeda adalah Charles Darwin.
Darwin mengemukakan teori tersebut dalam bukunya The Origin of Species, yang terbit di Inggris pada tahun 1859. Dalam buku ini, mitos evolusi, yang diwariskan oleh peradaban Sumeria kuno, dipaparkan lebih rinci. Dia berpendapat bahwa semua spesies makhluk hidup berasal dari satu nenek moyang, yang muncul di air secara kebetulan, dan mereka tumbuh berbeda satu dari yang lain melalui perubahan-perubahan kecil yang terjadi secara kebetulan.
Pernyataan Darwin tidak banyak diterima oleh para tokoh ilmu pengetahuan di masanya. Para ahli fosil, khususnya, menyadari pernyataan Darwin sebagai hasil khayalan belaka. Meskipun demikian, seiring berjalannya waktu, teori Darwin mulai mendapatkan banyak dukungan dari berbagai kalangan. Hal ini disebabkan Darwin dan teorinya telah memberikan landasan berpijak ilmiah - yang dahulunya belum diketemukan- bagi kekuatan yang berkuasa pada abad ke-19.

Sebagaimana masyarakat penyembah berhala, para pengikut Darwin percaya bahwa kehidupan muncul secara kebetulan di dalam air akibat pengaruh alam. Menurut pernyataan yang tidak masuk akal ini, atom-atom yang tidak memiliki kecerdasan yang terdapat dalam "sup purba", sebagaimana tampak pada gambar, bertemu untuk kemudian saling bergabung dan membentuk makhluk hidup.

Alasan Ideologis Penerimaan Darwinisme
Ketika Darwin menerbitkan buku The Origin of Species dan memunculkan teori evolusinya, ilmu pengetahuan kala itu masih sangat terbelakang. Misalnya, sel, yang kini diketahui memiliki sistem teramat rumit, hanya tampak seperti bintik noda melalui mikroskop sederhana waktu itu. Karenanya, Darwin merasa tidak ada yang salah ketika menyatakan bahwa kehidupan muncul secara kebetulan dari materi tak hidup.

Dibandingkan yang ada sekarang, mikroskop abad ke-19 sangatlah kuno dan, karena-nya, sebagaimana terlihat pada gambar, hanya dapat menampakkan sel sebagai bintik-bintik noda.
Demikian pula, catatan fosil yang tidak lengkap waktu itu memberi celah bagi penyataan bahwa mahluk hidup telah terbentuk dari satu spesies ke spesies yang lain melalui perubahan sedikit demi sedikit. Sebaliknya, kini telah jelas bahwa catatan fosil, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak memberikan secuil bukti apapun yang mendukung pernyataan Darwin bahwa suatu makhluk hidup muncul dari perkembangan makhluk hidup lain yang telah ada sebelumnya. Hingga baru-baru ini, para evolusionis terbiasa mengelak dari kebuntuan yang menghadang mereka tersebut dengan berdalih, "Ini akan ditemukan suatu saat di masa mendatang." Tetapi, mereka sekarang tidak lagi mendapatkan tempat bersembunyi di balik penjelasan ini (Untuk lebih lengkapnya, silahkan membaca Bab "Kekeliruan Teori Evolusi")
Apapun yang terjadi, keyakinan para Darwinis terhadap teori evolusi tidak berubah sedikitpun. Para pendukung Darwin telah datang dan hadir hingga zaman kita dan, layaknya harta warisan, mereka melimpahkan kesetiaan kepada Darwin ke generasi selanjutnya secara turun-temurun selama 150 tahun terakhir.
Jika demikian, apakah yang menjadikan Darwinisme diminati sejumlah kalangan dan disebarlu-askan melalui propaganda besar-besaran, padahal fakta tentang ketidakabsahan ilmiahnya kini telah nampak jelas?
Yang paling menonjol dari teori Darwin adalah pengingkarannya terhadap keberadaan Pencipta. Menurut teori evolusi, kehidupan membentuk dirinya sendiri tanpa sengaja dari bahan-bahan pembentuknya yang telah ada di alam. Pernyataan Darwin ini memberikan pembenaran ilmiah palsu bagi semua filsafat kaum anti Tuhan, dimulai dari filsafat kaum materialis. Sebab, hingga abad ke-19, sebagian besar para ilmuwan melihat ilmu pengetahuan sebagai sarana mempelajari dan menemukan ciptaan Allah. Karena keyakinan ini tersebar luas, filsafat atheis dan materialis tidak menemukan lahan subur untuk tumbuh berkembang. Namun, pengingkarannya terhadap keberadaan Pencipta dan dukungan 'ilmiah' yang diberikannya kepada keyakinan atheis dan materialis menjadikan teori Evolusi sebagai kesempatan emas bagi mereka. Karena alasan ini, kedua filsafat tersebut berpihak kepada Darwinisme dan menyelaraskan teori ini dengan ideologi mereka sendiri.
Selain penyangkalan Darwinisme terhadap keberadaan Tuhan, terdapat pernyataan lainnya mendukung berbagai ideologi materialistis abad ke-19: "Perkembangan makhluk hidup dipengaruhi oleh perjuangan untuk mempertahankan hidup di alam. Perseteruan ini dimenangkan oleh yang terkuat. Yang lemah akan kalah dan punah."
Kaitan erat Darwinisme dengan ideologi-ideologi yang telah menimpakan penderitaan dan bencana terhadap dunia diungkap dengan jelas dalam bagian ini.

Darwinisme Sosial : Penerapan Hukum Alam



Charles Darwin
Salah satu pernyataan terpenting teori evolusi adalah "perjuangan untuk mempertahankan hidup" sebagai pendorong utama terjadinya perkembangan makhluk hidup di alam. Menurut Darwin, di alam terjadi perkelahian tanpa mengenal belas kasih demi mempertahankan hidup, ini adalah sebuah pertikaian abadi. Yang kuat selalu mengalahkan yang lemah, dan ini mendorong terjadinya perkembangan. Judul tambahan buku The Origin of Species merangkum pandangan ini. "The Origin of Species by Means of Natural Selection or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life" ("Asal-Usul Spesies melalui Seleksi Alam atau Pelestarian Ras-Ras Pilihan dalam Perjuangan untuk Mempertahankan Hidup.")
Yang mengilhami Darwin tentang hal ini adalah buku karya ekonom Inggris, Thomas Malthus: An Essay on The Principle of Population. Buku ini memperkirakan masa depan yang cukup suram bagi umat manusia. Menurut perhitungan Malthus, jika dibiarkan, populasi manusia akan meningkat dengan sangat cepat. Jumlahnya akan berlipat dua setiap 25 tahun. Namun, persediaan makanan tidak akan bertambah pada laju yang sama. Dalam keadaan ini, manusia menghadapi bahaya kelaparan yang tiada henti. Yang mampu menekan jumlah populasi ini adalah bencana, seperti perang, kelaparan, dan penyakit. Singkatnya, agar sebagian orang tetap bertahan hidup, maka sebagian yang lain perlu mati. Kelangsungan hidup berarti "perang tanpa henti".
Menurut Darwin buku Malthuslah yang mejadikannya berpikir tentang perjuangan demi mempertahankan hidup:
Dalam bulan Oktober 1838, yakni 15 bulan setelah saya memulai pengkajian sistematis saya, saya kebetulan membaca buku Malthus tentang kependudukan sekedar untuk hiburan, dan setelah sebelumnya memahami bahwa perjuangan untuk mempertahankan hidup yang terjadi di mana-mana, berdasarkan pengamatan berulang-ulang terhadap kebiasaan pada binatang dan tumbuhan, saya seketika tersadarkan bahwa keadaan ini mendorong variasi menguntungkan untuk cenderung lestari dan yang tidak menguntungkan akan musnah. Hasilnya adalah pembentukan spesies baru. Di sinilah saya pada akhirnya menemukan sebuah teori yang dapat saya pakai.
Pada abad ke-19, gagasan Malthus telah diterima oleh masyarakat luas. Sejumlah kalangan intelektual Eropa kelas atas secara khusus mendukung gagasan Malthus ini. Perhatian besar yang diberikan Eropa abad ke-19 kepada pemikiran Malthus tentang populasi tercantum dalam artikel The Scientific Background of the Nazi "Race Purification" Programme (Latar Belakang Ilmiah Program "Pemurnian Ras" oleh Nazi ) :
Pada paruh pertama abad ke-19, di seluruh Eropa, para anggota kalangan yang berkuasa berkumpul membicarakan "masalah kependudukan" yang baru ditemukan, dan untuk merumuskan cara menerapkan anjuran Malthus untuk meningkatkan laju kematian orang-orang miskin: "Sebagai ganti ajakan hidup bersih kepada orang-orang miskin, kita harus menganjurkan kebiasaan hidup yang sebaliknya. Di kota-kota kita, kita hendaknya menjadikan jalanan semakin sempit, menjejali lebih banyak orang yang tinggal dalam rumah, dan mendorong munculnya kembali wabah penyakit. Di negeri ini kita harus membangun desa-desa di dekat tempat genangan air, dan secara khusus menganjurkan pemukiman di semua tempat basah rentan banjir dan tidak sehat," dan seterusnya, dan seterusnya.

Thomas Malthus adalah tokoh yang mempengaruhi pemikiran Darwin. Ia mengemukakan bahwa peperangan dan kekurangan pangan menekan pesatnya pertumbuhan penduduk dunia.
Akibat kebijakan biadab ini, yang kuat akan mengalahkan yang lemah dalam perseteruan untuk mempertahankan hidup, dan dengan demikian laju pertumbuhan penduduk yang cepat akan dapat ditekan. Di Inggris pada abad ke-19, program "penjejalan orang-orang miskin" ini telah benar-benar diterapkan. Sebuah sistem industri didirikan sebagai tempat di mana anak-anak berusia delapan atau sembilan tahun bekerja selama 16 jam sehari di pertambangan batubara, di mana ribuan dari mereka meninggal akibat keadaan yang buruk tersebut. Gagasan tentang "perjuangan untuk mempertahankan hidup" yang dianggap penting dalam teori Malthus, telah mengakibatkan jutaan orang miskin di Inggris menjalani hidup penuh penderitaan.
Darwin, yang terpengaruh pemikiran Malthus, menerapkan cara pandang ini ke seluruh alam kehidupan, dan mengatakan bahwa peperangan ini, yang benar-benar ada, akan dimenangkan oleh yang terkuat dan yang paling layak hidup. Pernyataan Darwin tersebut berlaku pada semua tanaman, binatang, danmanusia. Ia juga menekankan bahwa perseteruan untuk mempertahankan hidup ini adalah hukum alam yang senantiasa ada dan tak pernah berubah. Dengan menolak adanya penciptaan, ia mengajak orang-orang menanggalkan keyakinan agama mereka dan dengan demikian berarti pula seruan untuk meninggalkan segala prinsip etika yang dapat menjadi penghalang bagi kebiadaban dalam "perjuangan untuk mempertahankan hidup."
Karena alasan inilah teori Darwin mendapatkan dukungan dari kalangan yang berkuasa, bahkan sejak teori tersebut baru saja didengar, awalnya di Inggris dan selanjutnya di negeri Barat secara keseluruhan. Kaum imperialis, kapitalis, dan materialis lainnya yang menyambut hangat teori ini, yang memberikan pembenaran ilmiah bagi sistem politik dan sosial yang mereka dirikan, tidak kehilangan waktu untuk segera menerimanya. Dalam waktu singkat, teori evolusi telah dijadikan satu-satunya patokan utama dalam berbagai bidang yang menjadi kepentingan masyarakat, dari sosiologi hingga sejarah, dari psikologi hingga politik. Di setiap pokok bahasan, gagasan yang mendasari adalah semboyan "perjuangan untuk bertahan hidup" dan "kelangsungan hidup bagi yang terkuat"; dan partai politik, bangsa, pemerintahan, perusahaan dagang, dan perorangan mulai menjalani kegiatan atau kehidupannya dengan berpedomankan semboyan ini. Karena ideologi-ideologi yang berpengaruh di masyarakat telah menyelaraskan diri dengan Darwinisme, propaganda Darwinisme mulai dilakukan di segala bidang, dari pendidikan hingga seni, dari politik hingga sejarah. Terdapat upaya untuk menghubung-hubungkan setiap bidang yang ada dengan Darwinisme, dan untuk memberikan penjelasan pada tiap bidang tersebut dari sudut pandang Darwinisme. Akibatnya, meskipun orang-orang tidak memahami Darwinisme, berbagai pola masyarakat yang menjalani kehidupan sebagaimana perkiraan Darwinisme mulai terbentuk.
Darwin sendiri menganjurkan agar pandangannya yang didasarkan pada evolusi diterapkan pada pemahaman tentang etika dan ilmu-ilmu sosial. Darwin mengatakan berikut ini kepada H.Thiel dalam sebuah surat pada tahun 1869:
Anda akan segera meyakini betapa tertariknya saya ketika mendapati bahwa dalam masalah-masalah moral dan sosial anda menerapkan pandangan-pandangan yang serupa dengan yang telah saya gunakan dalam masalah perubahan spesies. Awalnya tidak terpikirkan dalam diri saya bahwa pandangan-pandangan saya dapat diperlebar ke bidang-bidang yang demikian luas, berbeda, dan paling penting.
Dengan diterimanya pula gagasan "pertikaian di alam" dalam kehidupan manusia, peperangan dengan mengatas-namakan rasisme, Fasisme, Komunisme, dan imperialisme, dan tindakan golongan kuat untuk menindas orang-orang yang mereka anggap lebih lemah, kini terbungkus dengan topeng ilmiah. Sejak saat itu, mustahil menyalahkan atau menghalangi mereka yang melakukan pembantaian biadab, yang memperlakukan manusia layaknya binatang, yang mendorong pertikaian di antara sesama, yang merendahkan orang lain karena ras mereka, yang mematikan usaha kecil dengan dalih kompetisi, dan yang enggan membantu orang miskin. Sebab mereka melakukan ini semua sesuai dengan hukum alam yang "ilmiah".
Penjelasan ilmiah baru ini dikenal dengan nama "Darwinisme Sosial".
Salah seorang ilmuwan evolusionis terkemuka zaman kita, paleontolog Amerika, Stephen Jay Gould menerima kebenaran ini dengan menuliskan bahwa, menyusul penerbitan buku The Origin of Species pada tahun 1859, "alasan yang kemudian dipakai untuk membenarkan perbudakan, penjajahan, pembedaan ras, pertikaian antar kelas masyarakat, dan peran jenis kelamin dikemukakan dengan dukungan utama dari ilmu pengetahuan."

PENINDASAN DI SELURUH DUNIA
Munculnya Darwinisme menjadikan kebohongan bahwa "pertikaian dan peperangan merupakan fitrah dalam diri manusia" diterima secara ilmiah. Akibatnya sungguh mengenaskan: di banyak tempat di dunia, peperangan, pembunuhan, dan kebiadaban dibungkus dengan menggunakan kedok 'ilmiah'. Demikianlah abad ke-20 menjadi abad yang penuh penderitaan dan kebiadaban.
Ada satu hal sangat penting untuk diketahui disini. Di setiap kurun sejarah manusia, terjadi peperangan, kekejaman, kebiadaban, rasime, dan pertikaian. Tetapi, di setiap masa selalu ada agama wahyu yang mengajarkan manusia bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah, dan mengajak mereka kepada perdamaian, keadilan, dan ketentraman. Oleh karena manusia mengetahui ajaran agama wahyu ini, mereka setidaknya memahami kekeliruan mereka ketika terjerumus kepada tindak kekerasan.
Tapi sejak abad ke-19, Darwinisme menyatakan bahwa perseteruan dan ketidakadilan demi memperebutkan keuntungan, memiliki unsur pembenaran ilmiah bagi mereka, dan mereka juga mengatakan bahwa semua ini merupakan bagian dari sifat fitrah manusia, bahwa dalam dirinya manusia memiliki kecenderungan bertindak biadab dan agresif yang merupakan peninggalan dari oleh nenek moyangnya, dan seperti halnya dengan binatang yang terkuat dan paling agresif akan bertahan hidup, hukum yang sama ini berlaku pada manusia. Di bawah pengaruh pemikiran ini, peperangan, penderitaan, dan pembantaian mulai terjadi di banyak tempat di seluruh dunia. Darwinisme mendukung dan mendorong semua pergerakan yang mendatang-kan penderitaan, pertumpahan darah, dan penindasan kepada dunia. Paham ini memperlihatkan berbagai tindakan tersebut sebagai hal yang masuk akal dan dapat dibenarkan, dan medukung semua penerapannya. Karena adanya dukungan ilmiah ini, ideologi berbahaya lainnya bermunculan dan tumbuh semakin kuat, dan hasil yang didapat adalah "abad penderitaan" pada abad ke-20.
Dalam bukunya "Darwin, Marx, Wagner" profesor sejarah Jacques Barzun menyelidiki penyebab ilmiah, sosiologis, dan budaya dari kehancuran moral dahsyat yang menimpa dunia modern. Pernyataan dari buku Bazrun ini sungguh menarik jika dilihat dari sudut pandang pengaruh Darwinisme terhadap dunia:
... di setiap negeri Eropa antara tahun 1870 dan 1941 terdapat golongan pro-peperangan yang menuntut persenjataan, golongan individualis yang menuntut kompetisi tanpa belas kasih, golongan imperialis yang menuntut penjajahan atas masyarakat terbelakang, golongan sosialis yang menuntut kekuasaan, dan kelompok rasialis yang menuntut pembersihan internal dari orang-orang asing - kesemuanya ini, ketika dalih keserakahan dan ketenaran telah gagal, atau bahkan sebelumnya, menyebut nama Spencer dan Darwin, yang boleh dikatakan sebagai penjelmaan ilmu pengetahuan... Ras adalah sesuatu yang biologis, yang berkaitan dengan masalah sosiologi, dan juga berhubungan dengan Darwin.

PENDERITAAN DAN KESENGSARAAN
Menurut Darwinisme Sosial, kaum lemah, miskin, berpenyakit, dan terbelakang sepatutnya dimusnahkan dan disingkirkan tanpa belas kasih. Para penganut paham ini meyakininya sebagai keharusan demi keberlangsungan evolusi umat manusia. Salah satu sebab mengapa di abad ke-20 tidak ada yang sudi mendengar jerit tangis jutaan manusia yang meminta pertolongan, dari Bosnia hingga Ethiopia, adalah ideologi yang dipaksakan secara luas ke masyarakat ini.

Di abad ke-19, ketika Darwin mengajukan pernyataannya bahwa mahluk hidup tidak diciptakan, melainkan telah muncul secara kebetulan, dan bahwa manusia mempunyai nenek moyang yang sama dengan binatang, dan telah muncul sebagai makhluk hidup yang paling berkembang dan maju sebagai hasil peristiwa kebetulan, mungkin kebanyakan orang tidak dapat membayangkan apa akibat dari pernyataan ini. Tetapi di abad ke-20, dampak dari pernyataan ini tampak nyata dalam wujud berbagai pengalaman yang sungguh mengerikan. Mereka yang melihat manusia sebagai binatang yang telah berkembang, tidak ragu untuk bangkit dengan menginjak-injak yang lemah, mencari jalan untuk memusnahkan yang sakit dan lemah, dan melakukan pembantaian untuk menghapuskan ras yang mereka anggap berbeda dan lebih rendah. Semuanya terjadi karena teori mereka yang berkedok ilmu pengetahuan ini mengatakan kepada mereka bahwa ini adalah "hukum alam."

Jacques Barzun, profesor sajarah yang menulis buku "Darwin, Marx, Wagner,"
Bencana yang ditimpakan Darwinisme kepada dunia bermula dengan cara yang demikian ini, dan dengan cepat tersebar ke seluruh dunia. Sebaliknya, pada abad ke-19, hingga saat materialisme dan atheisme tumbuh semakin kuat dengan dukungan yang mereka dapatkan dari Darwinisme, kebanyakan masyarakat percaya bahwa Tuhan menciptakan semua mahluk hidup dan bahwa manusia, tidak seperti mahluk hidup lainnya, memiliki ruh yang diciptakan Tuhan. Berasal dari ras atau suku bangsa manapun, setiap manusia adalah seorang hamba yang diciptakan oleh Tuhan. Namun, redupnya keimanan terhadap agama yang diakibatkan, dan diperparah, oleh Darwinisme, memunculkan kelompok-kelompok masyarakat dengan cara pandang kompetitif dan tanpa mengenal belas kasih, tidak mengindahkan pentingnya moral, memandang manusia sebagai binatang yang telah berkembang maju.
Orang-orang yang mengingkari kewajiban mereka kepada Tuhan memunculkan pola hidup di mana segala sikap yang mementingkan diri sendiri dapat dibenarkan. Dari pola hidup ini lahirlah banyak paham, dan masing-masing paham ini, dalam penerapannya pada kehidupan dunia yang sesungguhnya, menjadi malapetaka bagi manusia.
Di halaman-halaman berikutnya, kita akan mempelajari beragam ideologi yang mendapatkan pembenaran dari Darwinisme tersebut, hubungan erat antara ideologi-ideologi ini dengan Darwinisme, dan penderitaan yang harus ditanggung dunia akibat persekutuan ini.

Membuat Teks dan Logo Gratis Secara Online

Membuat teks logo gratis secara online ini mungkin perlu anda coba, karena di sini anda tidak memerlukan software khusus ataupun keahlian tertentu. Membuat teks logo di boggertricks ini sangatlah mudah, anda hanya perlu masuk ke situs bloggertricks dan ketikkan tulisan yang anda kehendaki pada kotak yang telah disediakan di sana. Atur sendiri jenis font, warna, ukuran font dan lain-lain. Setelah selesai simpan dengan meng-klik kanan lalu save.
Oiya untuk outputnya nanti anda bisa memilih dalam format GIF ataupun PNG. Jika anda ingin tulisan yang transparan maka pilih aja jenis format PNG.

Mau mencobanya sekarang klik di sini

Penindasan dan Kekerasan oleh Kaum Komunis-Darwinis


Memunculkan kekacauan dan ketakutan adalah dua senjata sangat penting yang selalu digunakan Marxisme dan komunisme. Kecenderungan Marxisme kepada terorisme dan kekerasan tampak dalam percobaan di distrik Paris ketika Marx masih hidup. Terorisme, secara khusus menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ideologi Komunis dengan Lenin, ketika ia sedang menerapkan teori Marx. Kaum komunis menumpahkan darah jutaan manusia di setiap tempat di bumi, dan membuat orang mengalami penderitaan, ketakutan, dan kekejaman dengan mendirikan organisasi-organisasi teroris. Sebagaimana yang akan tampak di halaman-halaman berikutnya, kini semua pemimpin Komunis dikenang karena penindasan dan pembunuhan yang mereka lakukan. Meskipun demikian, masih saja ada sejumlah kalangan yang memajang foto para pembunuh kejam yang bersimbah darah ini pada dinding-dinding mereka, dan masih menerima orang-orang bengis ini sebagai guru mereka.
Orang-orang Komunis menegaskan bahwa kekejaman dan terorisme bukanlah perbuatan mereka dan bahwa tindakan biadab ini hanya terjadi dalam penerapan Komunisme oleh sejumlah perorangan. Mereka juga berupaya memutihkan nama Komunisme. Namun, apapun usaha mereka, terdapat sebuah kebenaran yang tidak dapat disangkal: Para Pendiri Komunisme secara pribadi membela kekerasan dan terorisme dan memandangnya sangat penting bagi ideologi mereka. Pakar ilmu politik Amerika, Samuel Francis, mengatakan tentang hal ini:
Marx dan Engels pada dasarnya menegaskan secara khusus bahwa revolusi akan selalu diwarnai kekerasan dan para pelaku revolusi harus menggunakan kekerasan melawan para penguasa, dan dalam beberapa hal mereka benar-benar menampakan dukungan terhadap terorisme.
La revolución comunista fue muy sangrienta. Decenas de millones de personas fueron masacradas y asesinadas brutalmente. Los líderes comunistas ordenaron que todo el que se le opusiese sea liquidado.

Karl Marx mengatakan "pemberontakan adalah seni sebagaimana halnya berperang" dan menggunakan perkataan Danton, salah seorang tokoh terpenting dalam "politik revolusioner", sebagai pegangan utama: de l'audace, de l'audace, encore de l'audace" (Serang, serang, dan serang lagi!). Terdapat pernyataan yang jelas oleh Lenin tentang keharusan menggunakan terorisme secara sistematis. Di bawah ini beberapa di antaranya:
Pada kenyataannya, negara tidak lain adalah mesin untuk menekan kebebasan satu kelas oleh kelas lain. Pemerintahan diktator adalah kekuasaan yang didasarkan secara langsung pada kekuatan dan tidak dibatasi oleh hukum... Pemerintahan diktator revolusioner kaum buruh adalah kekuasaan yang dimenangkan dan dipertahankan dengan menggunakan kekerasan oleh kaum buruh terhadap kaum kaya, sebuah pemerintahan yang tidak dibatasi oleh hukum apapun.
Kita sama sekali tidak menentang pembunuhan politis... Hanya ketika berkaitan langsung dan erat dengan pergerakan massa, aksi teroris perorangan benar-benar mampu dan pasti membuahkan hasil.
Agar menjadi sebuah kekuatan, para buruh yang sadar akan kedudukannya harus memperoleh mayoritas yang mendukungnya. Selama tidak ada kekerasan yang digunakan untuk melawan masyarakat, maka tidak ada cara lain untuk meraih kekuasaan.
Ketika berbicara pada pertemuan para buruh, Lenin melontarkan pernyataan mengerikan tentang betapa terorisme sangat penting bagi mereka:
Jika massa tidak bangkit secara tiba-tiba, tak satupun yang akan tercapai... Sebab, selama kita gagal menghukum para spekulan seperti yang sepatutnya mereka terima - dengan menembakkan peluru di kepala mereka - kita tidak akan meraih apapun.
Salah seorang pemimpin utama Revolusi Oktober di Rusia, Trotsky, mengatakan berikut ini untuk membenarkan perkataan Lenin:
Tetapi revolusi benar-benar memerlukan kaum revolusioner sehingga ia meraih tujuannya dengan segala cara yang ada - jika perlu dengan mengangkat senjata, bahkan Terorisme.

PENINDASAN DI RUSIA
Gambar di samping melukiskan kekejaman yang berlangsung selama revolusi di Rusia.

Trotsky bahkan melangkah lebih jauh lagi dalam pidatonya yang lain,
Satu-satunya pilihan kita sekarang adalah perang sipil. Perang sipil adalah perjuangan untuk mendapatkan makanan... Hidup perang sipil!
 Prinsip-prinsip para perumus teori Komunis seperti Lenin dan Trotsky ini diterapkan dalam revolusi Bolshevik di Rusia. Selama masa revolusi di musim gugur tahun 1917, mulailah terjadinya pembantaian secara meluas, perampasan, dan kekerasan yang sulit dipercaya. Orang-orang yang menentang atau dicurigai menentang revolusi dikumpulkan tanpa alasan, ditangkap dan ditembak. Rumah-rumah dirampok dan dihancurkan. Terorisme, yang dimulai dengan Lenin dan Trotsky, berlanjut terus dan menjadi semakin buruk pada masa Stalin.
Akibat kelaparan yang terjadi pada tahun 1921-1922 karena ulah rezim Komunis. Pemandangan di atas memperlihatkan korban bencana kelaparan ini.

Harrison E. Salisbury dari The New York times melukiskan kamp-kamp penjara Soviet sebagaimana berikut:
...sebuah benua yang keseluruhannya adalah teror... Dibanding dengan mereka yang telah menyebabkan ratusan ribu hukuman mati dan jutaan orang mati selama masa teror Soviet, pemerintahan Tsar terlihat lebih baik... Otak kita sulit membayangkan kejahatan rutin dan sistematis di mana tiga atau empat juta, atau bahkan lebih, pria dan wanita dihukum setiap tahun dengan kerja paksa dan pengasingan untuk selamanya - dan sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja sehingga seringkali para tahanan tidak diberitahu tentang hukuman mereka.
Orang-orang selain Rusia, dan khususnya Turki Krimea, Turki Asia Tengah, dan Kazakh, tak luput dari terorisme Soviet. Pengadilan khusus, troiki, didirikan untuk membersihkan masyarakat Rusia dari orang-orang Kazakh. Di bulan Oktober 1920 para troiki ini menghukum mati lebih dari 6.000 orang, dan perintah ini dilaksanakan dengan segera. Keluarga, dan kadang kala tetangga, dari mereka yang menentang rezim dan yang tidak tertangkap, disandera secara sistematis dan dikirim ke kamp-kamp penampungan. Martin Latsis, kepala salah satu kamp ini di Ukraina dalam salah satu laporannya mengakui bahwa ini adalah kamp kematian:

Pengambilan hasil panen pertanian warga Ukraina oleh pemerintah Rusia menyebabkan mereka mati kelaparan.
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo'a: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau". (QS. An-Nisaa, 4:75)
Dikumpulkan bersama-sama di kamp dekat Maikop, para sandera, wanita, anak-anak dan orang tua bertahan hidup dalam keadaan yang paling mengenaskan, dalam dingin dan lumpur di bulan Oktober... Mereka sekarat seperti lalat. Para wanita bersedia melakukan apa saja agar tidak mati. Para tentara penjaga kamp memanfaatkan kesempatan ini dan menjadikan mereka pelacur.
Pengaruh Darwin menjadikan para pelaku revolusi Komunis membunuh manusia dengan penuh kegilaan. Dokumen-dokumen yang ada waktu itu memperlihatkan bahwa tujuan utama mereka adalah pemusnahan masyarakat secara keseluruhan. Seolah mereka percaya bahwa semakin banyak orang yang mereka bunuh, semakin besar keberhasilan yang akan mereka raih. Rencana mereka untuk melenyapkan setiap orang yang mereka curigai menentang revolusi terungkap dalam salah satu keputusan mereka:
Pyatigorsk Cheka (Panitia Luar Biasa untuk Perang Melawan Anti-Revolusi) dengan seketika memutuskan untuk menghukum mati 300 orang per hari. Mereka membagi kota menjadi sejumlah distrik dan mengambil kuota orang dari tiap-tiap distrik, dan memerintahkan Partai untuk menuliskan daftar hukuman mati...Di Kislovodsk, karena kehabisan ide yang lebih baik, diputuskan untuk membunuh orang-orang yang ada di rumah sakit.
 Sebagaimana diumumkan dalam artikel utama surat kabar Krasnyi Mech (Pedang Merah) yang pro-Komunis, orang-orang Komunis melihat segala hal diperbolehkan dan percaya bahwa darah harus ditumpahkan agar terbentuk warna pada bendera Merah .

Bagi kita, segalanya diperbolehkan, sebab kitalah yang pertama kali mengangkat pedang bukan untuk menindas ras-ras dan menjadikan mereka budak, namun untuk membebaskan umat manusia dari belenggunya... Darah? Biarkan darah mengalir seperti air! Biarkan darah untuk selamanya membasahi bendera hitam bajak laut yang dikibarkan orang-orang kaya, dan biarkan bendera kita berwarna merah darah selamanya! Sebab, hanya dengan kematian dunia lama kita dapat membebaskan diri kita sendiri selamanya dari kembalinya orang-orang kaya itu.
Disamping segala bentuk penyiksaan ini, Stalin juga membentuk "satuan petugas pengumpul" untuk mengumpulkan hasil panen para petani secara paksa. Satuan ini bertanggungjawab atas segala bentuk penindasan yang mereka lakukan. Pada tanggal 14 Februari 1922 seorang petugas pengawas menulis:
Penyalahgunaan kedudukan oleh satuan petugas pengumpul, secara jujur, kini telah mencapai tingkat yang sungguh sulit dipercaya. Secara sistematis, para petani yang ditahan semuanya disekap dalam gudang-gudang besar tanpa diberi penghangat ruangan; mereka kemudian dicambuk dan diancam dengan hukuman mati. Mereka yang belum memenuhi seluruh kuota mereka diikat dan dipaksa berlari dengan telanjang di sepanjang jalanan utama desa dan kemudian disekap di gudang lain tanpa penghangat ruangan. Sejumlah besar wanita dipukuli hingga pingsan dan kemudian dilemparkan ke dalam lubang yang digali di salju dalam keadaan telanjang.
"Satuan Petugas Pengumpul" hasil panen dibentuk oleh Stalin; selain menyiksa, mereka juga merampas hasil panen para petani. Mereka yang tidak mampu mendapatkan hasil panen yang cukup untuk diserahkan kepada petugas pemerintah, disiksa dengan beragam cara hingga tewas. Gambar di samping memperlihatkan nasib rakyat yang mengenaskan di bawah pemerintahan Komunis.

Stalin percaya bahwa Spanyol adalah negeri yang memberi banyak kesempatan baik bagi Uni Sovyet, dan turut campur dalam urusan negara tersebut akan mendatangkan keuntungan. Karena itu ia memihak dan mendukung kaum Komunis pada Perang Sipil Spanyol. Namun, dengan begitu wabah terorisme di Uni Sovyet merebak ke Spanyol. Salah satu contoh penindasan dan penyiksaan yang ada di sana adalah kamp konsentrasi yang menampung 200 orang anti Stalin di awal tahun 1938. "Ketika para Stalinis memutuskan untuk membentuk Cheka," salah seorang korban mengisahkan:

Ada sebuah pekuburan kecil yang dibersihkan di dekat sini. Para Chekis memiliki gagasan yang sangat jahat: mereka akan membiarkan makam-makam di pekuburan itu terbuka, dengan tulang-belulang dan tubuh membusuk yang terlihat jelas. Di sinilah mereka menyekap orang dengan pelanggaran-pelanggaran paling berat. Mereka memiliki beberapa cara penyiksaan tertentu yang sangat keji. Banyak tahanan yang digantung terbalik pada bagian kakinya selama berhari-hari . Sebagian yang lain mereka kunci dalam lemari kecil dengan hanya satu lubang kecil di dekat wajah untuk bernapas... Salah satu perlakuan paling buruk dikenal dengan "laci"; para tahanan dipaksa berjongkok di dalam kotak kecil selama beberapa hari. Beberapa di antaranya ada yang dibiarkan di sana dan tidak dapat bergerak selama delapan hingga sepuluh hari.
Pada tahun 1931 Paus Pius XI menuturkan pendapatnya tentang kekejaman yang ditimbulkan Komunisme kepada dunia dalam sebuah surat yang diedarkan ke semua uskup Katolik Roma di seluruh dunia, Quadragesimo Anno:
Komunisme mengajarkan dan berusaha mewujudkan dua hal: peperangan antar kelas yang tanpa henti dan penghapusan penuh kepemilikan pribadi. Ini dilakukan tidak secara rahasia atau dengan cara tersembunyi, tapi secara terbuka, dan menggunakan sarana apapun yang mungkin, bahkan yang paling kejam sekalipun. Untuk mencapai tujuan ini, Komunisme merasa tidak ada yang perlu ditakuti untuk dilaksanakan, dan tidak menghormati dan menghargai apapun. Ketika berkuasa, kebiadaban dan perlakuannya yang tidak manusiawi sungguh melampaui batas. Paham ini meninggalkan puing-puing pembantaian dan penghancuran yang mengerikan. Wilayah Eropa Timur dan Asia yang terbentang luas menjadi bukti akan hal ini.
Sebagaimana tertera dalam kutipan di atas, tujuan utama Komunisme adalah perang antar kelas yang tidak mengenal belas kasih, dan penghapusan total kepemilikan pribadi. Dengan kata lain, tujuannya adalah untuk menerapkan teori evolusi, yang telah diterapkan Darwin dalam bidang biologi, kepada masyarakat manusia, dan agar umat manusia berada dalam keadaan bertikai, berperang, layaknya binatang-binatang liar di alam.
Bencana akibat Komunisme tidak hanya berlaku di Rusia. Di antara sekian negara yang menjadi lahan penyebaran Komunisme dan yang sekaligus menderita bencana terburuk akibat paham ini adalah Cina.