Translate

Tan Malaka: Nasionalisme Seorang Marxis

Tan Malaka: Nasionalisme Seorang Marxis
Ignas Kleden - Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi


TAN Malaka meninggal pada usia 52 tahun. Setengah dari usia itu dilewatkannya di luar negeri: enam tahun belajar di Negeri Belanda dan 20 tahun mengembara dalam pelarian politik mengelilingi hampir separuh dunia. Pelarian politiknya dimulai di Amsterdam dan Rotterdam pada 1922, diteruskan ke Berlin, berlanjut ke Moskow, Kanton, Hong Kong, Manila, Shanghai, Amoy, dan beberapa desa di pedalaman Tiongkok, sebelum dia menyelundup ke Rangoon, Singapura, Penang, dan kembali ke Indonesia. Seluruhnya berlangsung antara 1922 dan 1942 dengan masa pelarian yang paling lama di Tiongkok.
Selama masa itu, dia menggunakan 13 alamat rahasia dan sekurangnya tujuh nama samaran. Di Manila dia dikenal sebagai Elias Fuentes dan Estahislau Rivera, sedangkan di Filipina Selatan dia menjadi Hasan Gozali. Di Shanghai dan Amoy dia adalah Ossario, wartawan Filipina. Ketika menyelundup ke Burma, dia mengubah namanya menjadi Oong Soong Lee, orang Cina kelahiran Hawaii. Di Singapura, ketika menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah atas, dia bernama Tan Ho Seng. Setelah masuk kembali ke Indonesia, dia bekerja di pertambangan Bayah, Banten, dan menjadi Ilyas Hussein.
Pelarian dan penyamaran itu dimungkinkan, salah satunya, karena dia menguasai bahasa-bahasa setempat dengan baik. Ketika dia ditangkap di Manila pada Agustus 1927, koran Amerika, Manila Bulletin, menulis, ”Tan Malaka, seorang Bolsyewik Jawa, ditangkap. Dia berbicara bermacam-macam bahasa: Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Tagalog, Tionghoa, dan Melayu.” Dalam pelarian itu, bermacam-macam pekerjaan sudah dilakukannya.
Di Amsterdam dan Rotterdam dia berkampanye untuk partai komunis Belanda pada waktu diadakan pemilu legislatif dan ditempatkan pada urutan ketiga. Di Moskow dia menjadi pejabat Komintern dengan tugas mengawasi perkembangan partai komunis di negara-negara Selatan, yang mencakup Burma, Siam, Annam, Filipina, dan Indonesia. Di Kanton dia menerbitkan majalah berbahasa Inggris, The Dawn. Di Manila dia menjadi kontributor untuk koran El Debate. Di Amoy dia mendirikan Foreign Languages School yang mendapat banyak peminat dan memberinya cukup uang. Di Singapura dia menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah atas walau tanpa ijazah.
Sebelum dibuang ke luar negeri, dia dipenjarakan tiga kali oleh pemerintah kolonial, di Bandung, Semarang, dan Jakarta. Dalam pelariannya ke luar negeri, dia dipenjarakan di Manila dan Hong Kong. Setelah kembali ke Indonesia, dia dimasukkan ke penjara oleh pemerintah Indonesia di Mojokerto (1946-1947).
Dia mengagumi secara khusus pejuang kemerdekaan Tiongkok, Dr Sun Yat-sen, yang di kalangan pengikut bawah tanah dipanggil Sun Man. Dia membaca buku San-Min-Chu-I dan berkesimpulan bahwa Dr Sun tidak sepaham dengan dia dalam teori dan metode. Menurut Tan Malaka, Dr Sun bukanlah seorang Marxis, melainkan sepenuh-penuhnya seorang nasionalis. Dalam metode, dia tidak berpikir dialektis, tapi logis. Namun kesanggupan analisisnya tinggi, kemampuan menulisnya baik sekali, dan dia seorang effective speaker. Kekuatan Dr Sun terdapat dalam dua hal lain, yaitu satunya kata dan tindakan serta tabah menghadapi kegagalan. Usahanya memerdekakan Tiongkok dari Kerajaan Manchu baru berhasil pada percobaan ke-17, setelah 16 kali gagal.
Dr Jose Rizal menjadi pahlawan Filipina dan pahlawan Tan Malaka karena ketenangannya menghadapi maut. Beberapa saat sebelum dia ditembak mati, seorang dokter Spanyol rekan seprofesinya meminta izin kepada komandan agar diperbolehkan memeriksa kondisi kesehatannya. Dengan tercengang si dokter melaporkan bahwa denyut pada pergelangan tangan Dr Rizal tetap pada ketukan normal, tanpa perubahan apa pun. Ini hanya mungkin terjadi pada seseorang yang sanggup menggabungkan keyakinan penuh pada perjuangan, ketabahan dalam menderita, dan keteguhan jiwa menghadapi maut. Di sini terlihat bahwa Tan Malaka bukanlah seorang Marxis fundamentalis, karena dia dapat menghargai Dr Sun Yat-sen, nasionalis pengkritik Marxisme, dan mengagumi Dr Rizal, seorang sinyo borjuis dengan berbagai bakat tapi menunjukkan sikap satria sebagai pejuang kemerdekaan.
Kritik Tan Malaka kepada Bung Karno tidaklah ada sangkut-pautnya dengan sikap Soekarno terhadap Madilog, tapi merupakan kritik yang wajar terhadap seseorang yang sangat dihormatinya. Dasar kritiknya adalah apa yang dilihatnya sebagai kebajikan Dr Sun Yat-sen, yaitu satunya kata dengan perbuatan. Menurut Tan Malaka, ketika memimpin PNI, Soekarno selalu mengajak penduduk Hindia Belanda yang berjumlah 70 juta jiwa itu untuk berjuang mencapai Indonesia merdeka dengan menggunakan tiga pegangan, yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan aksi massa yang tak mengenal kompromi. Dia memberikan apresiasi tinggi bahwa Soekarno telah banyak menderita dan dibuang ke pengasingan karena gagasan-gagasan politiknya.
Maka dia kecewa melihat Soekarno berkolaborasi dengan Jepang selama pendudukan di Indonesia. Kekecewaan ini disebabkan oleh dua latar belakang. Pertama, Tan Malaka merasa dekat dengan Soekarno, yang menerapkan aksi massa dalam perjuangan politiknya hampir sepenuhnya menurut apa yang ditulisnya di Singapura pada 1926 dalam sebuah brosur tentang aksi massa. Kedua, dia sangat terpesona oleh perjuangan kemerdekaan Filipina dengan semboyan immediate, absolute and complete independence (kemerdekaan segera, tanpa syarat, dan penuh). Kekecewaan ini sedikit terobati ketika Soekarno-Hatta atas desakan pemuda revolusioner membuat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Salah satu karya Tan Malaka yang boleh dianggap sebagai opus magnum-nya adalah buku Madilog, yang ditulis selama delapan bulan dengan rata-rata tiga jam penulisan setiap hari di persembunyiannya dekat Cililitan. Buku itu menguraikan tiga soal yang menjadi pokok pemikirannya selama tahun-tahun pembuangan, dengan bahan-bahan studi yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, tapi sebagian besar harus dibuang untuk menghindari pemeriksaan Jepang. Naskah buku ini praktis ditulis hanya berdasarkan ingatan setelah bacaan dihafal di luar kepala dengan teknik pons asinorum (jembatan keledai).
Ketiga soal itu adalah materialisme, dialektika, dan logika. Materialisme diperkenalkannya sebagai paham tentang materi sebagai dasar terakhir alam semesta. Logika dibutuhkan untuk menetapkan sifat-sifat materi berdasarkan prinsip identitas atau prinsip nonkontradiksi. Prinsip logika berbunyi: A tidak mungkin sama dengan yang bukan A. Atau dalam rumusan lain: a thing is not its opposite. Sebaliknya, dialektika menunjukkan peralihan dari satu identitas ke identitas lain. Air adalah air dan bukan uap. Tapi dialektika menunjukkan perubahan air menjadi uap setelah dipanaskan hingga 100 derajat Celsius.
Madilog adalah penerapan filsafat Marxisme-Leninisme. Tesis utama filsafat ini berbunyi: bukan ide yang menentukan keadaan masyarakat dan kedudukan seseorang dalam masyarakat, melainkan sebaliknya, keadaan masyarakatlah yang menentukan ide. Kalau kita mengamati hidup dan perjuangan Tan Malaka, jelas sekali bahwa sedari awal dia hidup untuk merevolusionerkan kaum Murba, agar menjadi kekuatan massa dalam merebut kemerdekaan politik. Dia bergabung dengan Komintern di Moskow dan Kanton karena setuju dengan tesis Komintern bahwa partai komunis di negara-negara jajahan harus mendukung gerakan nasionalis untuk menentang imperialisme.
Semenjak masa mudanya di Negeri Belanda, Tan Malaka sudah terpesona oleh Marxisme-Leninisme. Paham inilah yang menyebabkan dia dipenjarakan berkali-kali dan dibuang ke luar negeri. Ini berarti bukan penjara dan pembuangan itu yang menjadikan dia seorang Marxis, melainkan sikap dan pendiriannya yang Marxislah yang menyebabkan dia dipenjarakan dan dibuang. Selain itu, dia pertama-tama tidak berjuang untuk kemenangan partai komunis di seluruh dunia, tapi untuk kemerdekaan tanah airnya.
Dengan demikian, hidup Tan Malaka menjadi falsifikasi radikal terhadap gagasan Madilog yang dikembangkannya. Paradoksnya: dia seorang Marxis tulen dalam pemikiran, tapi nasionalis yang tuntas dalam semua tindakannya. Kita ingat kata-katanya kepada pemerintah Belanda sebelum dibuang: Storm ahead (ada topan menanti di depan). Don’t lose your head! Ini sebuah language game yang punya arti ganda: jangan kehilangan akal dan jangan kehilangan kepala. Tragisnya, dia yang tak pernah kehabisan akal di berbagai negara tempatnya melarikan diri akhirnya kehilangan kepala di tanah air yang amat dicintainya.

Riwayat Hidup Tan Malaka



ObrazekSaat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda.
Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik
Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai.
Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.

Perjuangan
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.
Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.
Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…."

Madilog
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.
Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya.

Pahlawan
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.
Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.
Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949.
Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.

Tan Malaka dalam fiksi
Dengan julukan Patjar Merah Indonesia Tan Malaka merupakan tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air-nya, Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia internasional.
Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Matu Mona yang berjudul Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Nama Pacar Merah sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel, yang berkisah tentang pahlawan Revolusi Prancis.
Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI lainnya, yaitu Muso (sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky), Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin) dan Soebakat (Soe Beng Kiat).
Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia, terutama di Sumatera.
Beberapa judul kisah Patjar Merah:
Matu Mona. Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Medan (1938)
Matu Mona. Rol Patjar Merah Indonesia cs. Medan (1938)
Emnast. Tan Malaka di Medan. Medan (1940)
Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940)
Patjar Merah Kembali ke Tanah Air (1940)

Sumber: http://www.tanmalaka.estranky.cz/

KERATON SUROSOAN PANDEGLANG BANTEN

PANDEGLANG, Keraton Surosowan adalah sebuah keraton di Banten. Keraton ini dibangun sekitar tahun 1522-1526 pada masa pemerintahan Sultan pertama Banten, Sultan Maulana Hasanudin dan konon juga melibatkan ahli bangunan asal Belanda, yaitu Hendrik Lucasz Cardeel, seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memeluk Islam yang bergelar Pangeran Wiraguna . Dinding pembatas setinggi 2 meter mengitari area keraton sekitar kurang lebih 3 hektar. Surowowan mirip sebuah benteng Belanda yang kokoh dengan bastion (sudut benteng yang berbentuk intan) di empat sudut bangunannya. Bangunan di dalam dinding keraton tak ada lagi yang utuh. Hanya menyisakan runtuhan dinding dan pondasi kamar-kamar berdenah persegi empat yang jumlahnya puluhan.
Keraton Surosowan ini memiliki tiga gerbang masuk, masing-masing terletak di sisi utara, timur, dan selatan. Namun, pintu selatan telah ditutup dengan tembok, tidak diketahui apa sebabnya. Pada bagian tengah keraton terdapat sebuah bangunan kolam berisi air berwarna hijau, yang dipenuhi oleh ganggang dan lumut. Di keraton ini juga banyak ruang di dalam keraton yang berhubungan dengan air atau mandi-mandi (petirtaan). Salah satu yang terkenal adalah bekas kolam taman, bernama Bale Kambang Rara Denok. Ada pula pancuran untuk pemandian yang biasa disebut “pancuran mas”.
Kolam Rara Denok berbentuk persegi empat dengan panjang 30 meter dan lebar 13 meter serta kedalaman kolam 4,5 meter. Ada dua sumber air di Surosowan yaitu sumur dan Danau Tasikardi yang terletak sekitar dua kilometer dari Surosowan.
Berikut ini adalah sebuah Catatan yang dibuat oleh Cecep Eka Permana berkaitan dengan Kajian Arkeologi mengenai Keraton Surosowan Banten Lama, Catatan yang pernah dimuat di Makara, Sosial Humaniora Vol 8 No 3 Desember 2004 ini menarik karena dengan berdasarkan hasil penelitiannya dan berdasarkan analisis peta kuno, keraton Surosowan paling sedikit telah mengalami lima tahap pembangunan. Dari data pengupasan dan penggalian keraton sekarang ini hanya dapat memperlihatkan adanya dua fase pembangunan. Berdasarkan sisa ubin dalam tiap ruang, diperoleh rekonstruksi ukuran dan pola pasang ubin pada tiap ruang di kompleks keraton. Diperoleh pula data untuk merekonstruksi pola pasangan bata dinding bangunan dan pondasi pada bangunan di kompleks keraton. Sementara itu, fungsi bangunan yang diketahui adalah tempat tinggal sultan dan keluarga, bangsal terima tamu, kolam Roro Denok, dan pemandian Pancuran Mas.
Keraton merupakan bangunan yang memegang peranan sangat penting bagi sebuah kerajaan. Seperti halnya keraton pada umumnya di Jawa, keraton Surosowan juga memiliki makna ganda, yakni sebagai bangunan tempat tinggal sultan dan keluarganya serta perangkat kerajaan lainnya, dan sebagai pusat kerajaan–dalam hal ini kerajaan Banten. Mengikuti pola umum tata kota kerajaan Islam di Indonesia, keraton Surosowan juga merupakan pusat kota Banten. Demikian pula, alun-alun terletak di sebelah utara keraton, mesjid Agung Banten di sebelah barat keraton, pasar Karangantu di sebelah timur, dan pelabuhan berada di sebelah utara.
Keraton Surosowan sudah beberapa kali mengalami perubahan. Berdasarkan peta-peta kuno diketahui bahwa pada peta tertua (1596), keraton Surosowan digambarkan masih sangat sederhana berupa satu bangunan rumah dikelilingi pagar dan beberapa bangunan yang terletak di selatan alun-alun. Pata peta 1624, keraton Surosowan sudah digambarkan berupa bangunan berundak dan bertingkat serta dikelilingi rumah-rumah. Gambaran yang hampir sama masih dijumpai pada peta 1726, dimana terlihat bangunan inti keraton memiliki bagian bawah bangunan yang berundak-undak, dan atap yang semakin ke atas makin kecil meruncing, hanya ukuran keraton semakin besar.

Berikut ini adalah gambar peta-peta kuno tersebut
peta-1596peta-1630peta-1659peta-1726peta-1739peta-1900
Sultan Haji dibantu Belanda. Pada masa pemerintahan Sultan Haji (1672–1687) keraton ini dibangun kembali di atas puing-puing keraton Sultan Ageng Tirtayasa yang sudah rata dengan tanah tahun 1680–1681. Pada tahun 1808 terjadi perselisihan Sultan Banten dengan Belanda. Pada tahun itu juga keraton Surosowan dihancurkan oleh Belanda di bawah pimpinan Daendels. Penghancuran tersebut berlangsung hingga tahun 1832.
Bahan bangunan dari keraton Surosowan banyak diambil untuk digunakan kembali pada bangunan Belanda lainnya. Sehingga, keraton Surosowan yang ada sekarang ini merupakan sisa dari sisa-sisa kehancurannya.
Dari hasil penelitian lapangan diketahui bahwa sisa-sisa struktur bangunan keraton Surosowan baru berhasil dimunculkan lewat serangkaian penelitian arkeologi pada bagian tengah keraton. Sementara itu, sisi sebelah barat dan timur bagian dalam keraton masih berupa gundukan tanah yang ditumbuhi rerumputan. Khusus untuk struktur yang telah tampak dipermukaan, karena meliputi areal yang cukup luas dan temuan yang cukup padat, maka dibagi menjadi sembilan sektor (Sektor A– I).
Dari analisis struktur bangunan, diketahui bahwa ada beberapa tipe pondasi digunakan di keraton Surosowan. Tipe yang banyak digunakan adalah tipe yang terdiri atas enam lapisan; dua lapisan terbawah menggunakan karang berbentuk kotak seadanya, dan empat lapisan di atasnya menggunakan bahan bata. Tiap lapisan disusun sedikian rupa sehingga tersusun secara simetris makin ke atas makin mengecil (tipe E dan F).
sektor-a1pondasi
Dari struktur dinding juga diketahui terdapat beberapa tipe, umumnya adalah berupa susunan bata utuh sedemikian rupa sehingga dari sisi luar dinding terlihat: lapis pertama berupa susunan sisi tebal-panjang bata (strek), lapis kedua berupa susunan sisi tebal-lebar bata (kop), lapis ketiga kembali sama seperti lapis pertama, lapis keempat sama dengan lapis kedua, dan seterusnya.
Sementara itu, dari struktur lantai diketahui bahwa digunakan dua bahan yaitu ubin (untuk ruang yang penting) dan bata (untuk ruang yang kurang penting dan jalan/gang). Dari analisis struktur bangunan juga diketahui bahwa keraton Surosowan yang tampak sekarang ini juga dibangun secara bertahap. Tahapan itu terlihat pada gejala penambahan ruang, penutupan struktur untuk peninggian lantai. Gejala ini terutama terlihat pada struktur bangunan pada sektor A (ruang A.5 dan A.11), dan sektor B (ruang B.1).
pola-ubinpola-bata
Dari analisis tata letak bangunan, khususnya struktur bangunan di dalam komplek keraton, diperoleh informasi terdapat: kediaman sultan, bangunan untuk istri dan kerabat keraton, bangunan terbuka dengan tiang dan permadani, Roro Denok (kolam dan bale kambang), kolam Pancuran Mas, Siti luhur, Made bahan, Made mundu, Made gayam, kandang kuda, dan tempat kereta kuda. Berdasarkan data lapangan di dalam kerton yang masih terlihat dapat dikatakan bahwa bangunan yang dianggap sama hanyalah: kolam Roro Denok (sektor D) dan kolam Pancuran Mas (sektor G).
sektor-asektor-b
Bangunan kediaman sultan terletak antara kolam Pancuran Mas, yakni bangunan pada sektor E. Bagian utara (depan) sektor ini terdapat 20 umpak sebagai dasar tiang, terdiri atas 12 umpak di sisi barat dan 8 umpak di sisi timur. Mungkin dua kelompok umpak ini dahulunya merupakan dua bangunan panggung yang saling berhadapan. Di tengah “halaman” antara dua kelompok umpak tadi terdapat sisa struktur lengkung tapal kuda, yang diduga reruntuhan gapura di depan bangunan ini.
Di sebelah selatan (belakang) sektor ini terdapat ruang ruang dan kolam mandi dengan tangga ke dalamnya. Selain itu, madhebahan menurut naskah G LOr 27389 adalah gapura besar keraton; madhemundu dan madegayam adalah pos jaga yang terdapat di madhebahan; dan didekat madhegayam terdapat sitiluhur yang letaknya bersebelahan dengan gudang senjata dan kandang kuda.
Secara keseluruhan, berdasarkan peta tahun 1900, tata letak keraton Surosowan berbeda dengan keraton Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Jika pada keraton di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta terbagi atas tiga halaman, maka keraton Surosowan secara garis besar hanya memiliki dua halaman (di luar dan di dalam benteng). Di dalam benteng terdapat (a) istana sultan, (b) kolam Roro Denok, (c) Datulaya, (d) kolam Pancuran Mas, (e) gerbang utara, dan (f) gerbang timur. Sementara, di luar benteng terdapat (a) alun-alun, (b) watu gilang, (c) mesjid Agung Banten, (d) bangunan Tiyamah, (e) srimanganti, (f) meriam Ki Amuk, dan (g) baledana.
Sementara itu, berdasarkan analisis hubungan lokasional dan fungsional diketahui bahwa semua struktur bangunan yang tampak sekarang saling berhubungan dan memiliki fungsinya sendiri-sendiri. Bangunan di dalam benteng sebelah kanan/barat (sektor A) berkaitan dengan bangunan persenjataan dan pertahanan.
Bangunan di depan gerbang sebagai bangunan utama ‘kantor’ dan aktivitas sultan (sektor B sisi barat), dan sebagai bangunan tenaga pendukung atau pelayan kerajaan (sektor B sisi timur), serta sebagai tempat kediaman kerabat sultan (sektor B sisi selatan). Di sebelah timur sektor B, terdapat kediaman sultan (sektor E) dan taman kolam Roro Denok dengan bale kambangnya di depannya (sektor D). Bangunanbangunan pada sisi selatan keraton berkaitan dengan penampungan air bersih, pemandian, dan bak pengaturan air kotor (sektor G), serta sebagai bangunan ‘karyawan’ keraton (sektor H).

5. Kesimpulan
Dari penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan analisis peta kuno, keraton Surosowan paling sedikit telah mengalami lima tahap pembangunan. Dari data pengupasan dan penggalian hanya dapat memperlihatkan adanya dua fase pembangunan berdasarkan indikasi struktur bangunan yang tumpang tindih. Berdasarkan sisa lantai dalam tiap ruang diketahui terbuat dari bahan ubin atau tegel semen berglasur merah, dan bata, serta dapat direkonstruksi ukuran, dan pola pasangnya pada tiap ruang di kompleks keraton. Di samping itu diperoleh pula data untuk merekonstruksi pola pasangan bata dinding bangunan dan pondasi pada bangunan di kompleks keraton. Sementara itu, berdasarkan pengamatan di lapangan juga diperoleh asumsi beberapa fungsi bangunan yang telah ditampakkan, seperti tempat tinggal sultan, bangsal terima tamu, kolam taman Roro Denok, dan pemandian Pancuran Mas untuk para kerabat keraton.

Sumber: http://humaspdg.wordpress.com

VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)

VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)
Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda ) atau VOC yang didirikan pada tanggal 20Maret 1602 adalah perusahaan Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitasperdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada pula VWC yang merupakanperserikatan dagang Hindia Barat. 
 
Perusahaan ini dianggap sebagai perusahaan pertamayang mengeluarkan pembagian saham.Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi badan dagang iniistimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas -fasilitas sendiri yang istimewa.Misalkan VOC boleh memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara -negara lain.
 
Bisa dikatakan VOC adalah negara dalam negara.Di masa itu, terjadi persaingan sengit di antara negara -negara Eropa, yaitu Portugis,Spanyol kemudian juga Inggris, Perancis dan Belanda, untuk memperebutkan hegemoniperdagangan di Asia Timur. Untuk menghadapai masalah ini, oleh Staaten Generaal di Belanda, VOC diberi wewenang memiliki tentara yang harus mereka biayai sendiri. Selain itu, VOC juga mempunyai hak, atas nama Pemerintah Belanda -yang waktu itu masih berbentuk Republik- untuk membuat perjanjian kenegaraan dan menyatakan perang terhadap suatu negara. Wewenang ini yang mengakibatkan, bahwa suatu perkumpulan dagang seperti VOC, dapat bertindak seperti layaknya satu negara.Perusahaan ini mendirikan markasnya di Batavia (sekarang Jakarta) di pulau Jawa. Poskolonial lainnya juga didirikan di tempat lainnya di Hindia Timur yang kemudianmenjadi Indonesia, seperti di kepulauan rempah-rempah (Maluku), yangtermasuk Kepulauan Banda di mana VOC manjalankan monopoli atas pala dan fuli. Metodeyang digunakan untuk mempertahankan monompoli termasuk kekerasan terhadap populasilokal, dan juga pemerasan danpembunuhan massal

Kebijakan- kebijakan VOC yang diterapkan di Indonesia

a. menguasai pelabuhan-pelabuhan dan mendirikan benteng untuk melaksanakan monopoli perdangan.
b. melaksakan politik devide et impera ( memcah dan menguasai ) dalam rangka untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia.
c. Untuk mempererat kedudukannya, perlu mengangkat seorang Gubernur Jenderal.
d. Melaksakan sepenuhnya Hak Oktroi yang diberikan pemerintah belanda, seperti :
- hak monopoli
- hak untuk membuat uang
- hak nutuk mendirikan benteng
- hak untuk melaksanakan perjanjian dengan kerajaan di Indonesia, dan
- hak untuk tentara.
e. membangun pangkalan atau markas VOC yang semula di banten dan di Ambon, dipindah ke Jayakarta ( Batavia ).
f. Melaksakan pelayaran Hongi ( HOngi tocjten ).
g. Adanya hak ekstirpasi, yaitu hak untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang melebihi ketentuan.
Pengaruhnya kebijaksanaan VOC bagi rakyat Indonesia
a.kekuasaan raja menjadi berkurang / bahkan didominasi secara keseluruhan oleh VOC.
b. Wilayah kerajaan terpecah belah dengan melahirkan kerajaan dan penguasa baru di bawah kendali VOC.
c. Hak Oktroi ( istemewa ) VOC, membuat masyarakat Indoneisa menjadi miskin dan menderita.
d. Rakyat Indonesia mengenal politik uang, mengenal system pertahanan benteng, etika perjanjian dan prajurit bersenjata modern ( senjata api, meriam ).
e. Pelayaran HOngi, dapat dikatakan sebagai suatu perampasan, perampokan, perbudakan dan pembunuhan.
f. Hak ekstirpasi bagi rakyat merupakan ancaman matinya suatu harapan / sumber penghasilan yang bisa berlebih.

ASAL USUL DAN PERSEBARAN MANUSIA DI KEPULAUAN INDONESIA

A. Asal - usul dan persebaran manusia di Indonesia dapat dilacak dari teori-teori sebagai berikut :
 
1. Berdasarkan Rumpun Kebangsaan
Penduduk Indonesia memiliki banyak persamaan dalam hal ras, bahasa, dan kebudayaan, kecuali : orang-orang Irian dan Halmahera. Dengan membandingkan suara-suara dalam bunyi bahasa yang diucapkan maka dapat ditemukan adanya rumpun kebahasaan.
Di kawasan Asia Tenggara terdapat rumpun bahasa-bahasa.
1. Bahasa Astro-Asia di India ( Mundhal dan Non Khmer di India Belakang )
2. Bahasa Astronesia yang meliputi bahasa Indonesia, Melanesia, Micronesia dan Polinesia.
Dengan menggunakan perbandingan kesamaan-kesamaan bahasa maka dimungkinkan sekali kesamaan atau kekerabatan pemakainya.

Ciri fisik penduduk asli Indonesia :
Menurut Dr. H.Th.Fischer dalam bukunya Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia,
ditinjau dari bentuk fisik penduduk asli Indonesia dapat dipisahkan 3 Golongan, yaitu :
a. Golongan Negrito dengan ciri berkulit hitam, rambut keriting, lengkung alis menjorok
tingginya rata-rata 1,5 m. Profil semacam ini terdapat pada orang Tapiro di Irian.
b. Golongan Weddoid dengan ciri-ciri khas rambut berombak tegang, lengkung alis menjorok ke depan dan kulitnya agak cokelat. Profil semacam ini terdapat pada bangsa Senoi di Malaka, saika di Siak, Kubu di Palembang dan Tomuna di Sulawesi.
c. Golongan Melayu dengan ciri tubuh lebih tinggi dan ramping. Wajahnya bundar, hidung pesek serta berambut hitam.
Golongan Melayu digolongkan menjadi dua
a. Proto Melayu ( Melayu Tua ) : yang terdapat pada suku Toraja, Mentawai, Dayak
b. Deutro Melayu ( Melayu Muda ) : terdapat pada suku Jawa, Sunda, Minang Kabau,
Bali, Makasar.
 
Bangsa Melayu meiliki ciri-ciri dominan Mongoloid dan ciri Austromelanesoid.
Teori tentang asal-usul bangsa Melayu :
1. Bangsa Melayu berasal dari Asia Tengah ( daerah Utara ). Pendapat ini dikemukakan
oleh tokoh-tokoh sebagai berikut :
1. RH. Geldem
2. J HC Kern
3. W. Marsden
4. JR Foster
5. JR Logan
2. Bangsa Melayu berasal dari Nusantara. Pendapat ini dikemukakan oleh tokoh-tokoh berikut ini :
1. J. Crawfurd
2. Sutan Takdir Alisyahbana
3. Gorys Keraf
Menurut Prof. Dr. H.Kern dan Von Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunan (Tonkin) lembah S.Mekhong Vietnam. Yang merupakan rumpun bangsa Austronesia. Perpindahan disebabkan oleh : bencana alam atau serangan bangsa bar-bar / pengembara dari Cina Utara ( bangsa Mongol atau Tar-Tar ).

Perpindahan ke Indonesia terjadi dua gelombang :
a. Gelombang I ( 2.000 SM )
Nenek moyang bangsa Indonesia yang pertama dikenal dengan sebutan Proto Melayu ( Melayu Tua ) dengan membawa kebudayaan Neolithikum. Mereka datang dari Yunan melaui jalur Barat dan Timur yang diantaranya menggunakan perahu bercadik.Jalur Barat mulai dari semenanjung Malaka, Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara. Peninggalan kebudayaan yang dibawa melaui jalur Barat ini adalah kapak persegi. Sedangkan jalur Timur mulai dari Tonkin, menyusuri Pantai Asia Timur menuju Taiwan, Filipina, Sulawesa, Maluku, Irian dan Australia. Peninggalan kebudayaan yang dibawa melalui jalur ini adalah kapak lonjong. Dari sekian banyak suku bangsa Indonesia yang tersebar di kepulauan Indonesia, masih dapat dilihat bangsa yang tergolong Proto Melayu seperti suku Batak pedalaman, suku Dayak, suku Toraja dan suku Papua.

b. Gelombang II ( 500 SM )
Gelombang kedua ini juga masih termasuk rumpun Austronesia yang disebut Deutro Melayu ( Melayu Muda ) . Kebudayaan yang dibawa ras ini relatif lebih maju karena mereka sudah mengenal benda-benda dari Perunggu , seperti Kapak Corong, Nekara dan perhiasan Perunggu ( Kebudayaan Dongson ). Bangsa dari ras Deutro Melayu akhirnya mendesak ras Proto Melayu. Sifat ras Deutro Melayu ini lebih terbuka terhadap pengaruh kebudayaan luar dibandingkan dengan ras Melayu
Tua. Melalui perjalanan waktu yang sangat panjang , ras Melayu Muda ini akhirnya menjadi nenek moyang sebagian besar bangsa Indonesia. Kedatangannya melahirkan kebudayaan baru dan kemudian menjelma menjadi kebudayaan Bangsa Indonesia hingga sekarang ini.

2. Berdasarkan Penemuan Arkeologis
Wilayah Indonesia merupakan wilayah yang menjadi tempat kehidupan lama, sebagai bukti banyak ditemukan situs tempat kehidupan manusia yang tersebar di Indonesia. Dengan ditemukan fosil-fosil manusia Purba paling tidak bisa menjadi pembuka tabir kehidupan manusia di masa lampau.
Fosil manusia purba yang ditemukan di wilayah Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Meganthrophus Palaeojavanicus
b. Pithecanthropus ( Manusia Kera )
1. Pithecanthropus Mojokertensis ( Manusia Kera dari Mojokerto )
2. Pithecanthropus Soloensis ( Manusia Kera dari Solo )
3. Pithecanthropus Erectus ( Manusia Kera Berjalan Tegak )
c. Homo
1. Homo wajakensis
2. Homo Soloensis
3. Homo sapiens
Kesimpulan yang dikemukakan oleh Teuku yacob adalah sebagai berikut :
a. Suatu fakta bahwa tidak pernah ditemukan adanya peralatan di sekitar penemuan fosil yang
menunjukkan bahwa makhluk itu sudah berbudaya
b. Volume otak Phitecanthropus masih terlampau kecil bila dibandingkan dengan makhluk
Manusia sekarang. Volum otak bisa diperkirakan kapasitas rongga tengkoraknya .Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa volume otak Phitecanthropus Erectus sekitar 800 cc. Phitecanthropus Soloensis 1000 cc, sedang manusia sekarang rata-rata 1.500 cc. Dengan demikian , sulit dipercaya bahwa makhluk itu telah mempunyai akal.
c. Rongga mulut tengkorak Phitecanthropus menunjukkan bahwa makhluk itu belum bisa menggunakan bahasa, dengan keterbatasan akal dan ketiadaan bahasa, sulit bagi makhluk itu untuk secara sadar membuat pola-pola kehidupan yang teratur. Akal dan bahasa memang merupakan kunci berkembangnya sebuah kebudayaan. Berkat adanya evolusi dan adaptasi terhadap lingkungan alamnya, tentu makhluk ini juga berkembang pula keahlian serta kebudayaannya.
Pithecanthropus dianggap sebagai makhluk pendahulu manusia di kawasan Asia yang hidup antara 2.000.000 hingga 200.000 tahun yang lalu.
Akhirnya jenis ini musnah dan muncul generasi pertama manusia sekarang yang hidup pada lapisan Pleistosen muda atau zaman glasial terakhir ( sekitar 80.000 tahun yang lampau )
Sejak zaman Holosen fosil yang ditemukan menunjukan adanya empat ras pokok di Bumi ini yaitu :
a. Ras Australoid
b. Ras Mongoloid
c. Ras Kaukasoid
d. Homo Sapiens

b. Teknologi dan sistem Kepercayaan Awal Masyarakat Indonesia
1. Perkembangan Teknologi awal masyarakat Indonesia
Teknologi pada masyarakat berburu dan meramu
Pada masa berburu dan meramu bentuk teknologi yang muncul berkaitan dengan pencatatan
hidup untuk kebutuhan sehari – hari
1. Teknologi pemangkasan disebut Core tools. Alat bantu ini menghasilkan kapak perimbas
bifasial ( dua sisi ) kapak perimbas mono facial ( satu sisi ) dan kapak genggam
2. Teknologi pembentukan berkembang masa plestosen yang dihasilkan kapak perimbas dan
serpih ( contoh budaya Pacitan )
Untuk pembuatan serpih dilakukan dengan dua teknik yaitu :
a. Teknik clatton ( banyak ditemukan di Sangiran )
b. Teknik Lovallois ( banyak ditemukan di Pacitan )
Pada pasca Pleistosin teknologi pembuatan peralatan mengenai kemajuan dikenal teknik pemangkasan sekunder ( setelah terbentuk serpih baru dibentuk sesuai keperluan peralatan yang dibutuhkan )
3. Teknik Konkavo – Konveks
Teknologi pada masa masyarakat pertanian. Pada masa ini sudah mulai banyak ditemukan jenis teknologi yang menyangkut berbagai bentuk :
1. Bidang Pertanian dan irigasi
Sistem Irigasi tingkat permulaan dikembangkan seiring dengan berlangsungnya bercocok tanam, dengan cara membuat pematang dan sistem sawah berundag yang dilengkapi dengan saluran air. Jenis tanaman yang dikembangkan seperti : keladi, sukun, pisang
2. Bidang Metalurgi
Yaitu sistem teknologi untuk mengolah bijih-bijih logam menjadi artefak atau barang-barang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
Teknologi Metalurgi mencakup dua hal :
a. cara mengambil logam
b. cara pembuatan artefak ( mengolah logam menjadi barang jadi )
3. Bidang Astronomi
JL. Brandes dalam teori Brandes Tien Puten ( sepuluh mutiara Brandes ) mengatakan bahwa bangsa Indonesia memiliki sepuluh budaya asli ( local genius ) antara lain adalah pengetahuan astronomi, pengetahuan ini digunakan untuk kepentingan pelayaran, pertanian . di daerah Sumba terdapat upacara Sanga yaitu pemujaan terhadap Matahari, Bulan dan Bintang
4. Bidang Pelayaran
Bidang pelayaran melahirkan teknologi pembuatan kapal. Bukti perkembangannya adalah lukisan perahu pada dinding gua di Sulawesi Tenggara, Maluku, Timor-Timur, Nusa Tenggara Timur, juga relieif yang terdapat pada candi Borobudur. Bentuk yang berkembang adalah perahu lesung, perahu besar dan perahu besar tidak bercadik.

2. Perkembangan Sistem Kepercayaan masyarakat awal Indonesia
Kepercayaan pada masyarakat awal Indonesia tumbuh sejak masa berburu dan meramu dalam
bentuk tingkatan yang paling sederhana. Perkembangan kepercayaan tersebut sebagai berikut :
a. Bentuk Religi tingkat Pertama
Yaitu pemujaan terhadap roh orang yang telah menuinggal dunia/roh nenek moyang. Bentuk religi ini disebut Animisme ( Spiritulisme )
b. Tingkat Kedua yaitu Dinamisme, suatu keyakinan adanya kekuatan di luar manusia atau di alam seperti sungai, gunung, hujan dan lain-lain
c. Tingkat Ketiga yaitu suatu keyakinan yang dilambangkan dengan suatu makhluk yang memiliki kehidupan yang digambarkan sebagai dewa-dewa. Kepercayaan ini disebut Polytheisme. Dengan adanya keyakinan bahwa Dewa-Dewa tersebut adalah penjelmaan dari suatu Dewa maka muncullah bentuk religi disebut Monotheisme atau ada istilah Henotheisme yaitu keyakinan adanya satu Dewa/Tuhan tanpa ada Dewa atau makhluk halus yang lain.
Selain bentuk – bentuk religi di atas terdapat kepercayaan yaitu Totemisme yaitu pemujaan terhadap binatang tertentu, juga muncul Naugalisme yaitu keyakinan Totiisme yang dianut perorangan.

Sumber:  http://pagenjahan.blogspot.com/

Gamelan dalam Artefak Budaya

Gamelan dalam Artefak Budaya*

Bagi masyarakat Indonesia, di Pulau Jawa khususnya, gamelan bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan. Mereka—orang Jawa maupun Sunda—tahu mana yang disebut gamelan atau seperangkat gamelan, sekali pun orang bersangkutan tak bisa memainkannya. Mereka mengenal istilah gamelan, karawitan, atau gangsa. Akan tetapi, barangkali masih banyak yang belum mengetahui bagaimana sejarah perkembangan gamelan itu sendiri, sejak kapan gamelan mulai ada di Jawa.
Sarjana berkebangsaan Belanda, Dr. J.L.A. Brandes, mengatakan bahwa jauh sebelum datang pengaruh budaya India, bangsa Jawa telah rnemiliki keterampilan budaya atau pengetahuan yang mencakup 10 butir (Brandes, 1889), yakni:
1. wayang,
2. gamelan,
3. ilmu irama sanjak,
4. batik,
5. pengerjaan logam,
6. sistem mata uang sendiri,
7. ilmu teknologi pelayaran,
8. astronomi,
9. pertanian sawah,
10. birokrasi pemerintahan yang teratur.
Dengan begitu, bila pendapat Brandes tak keliru, kesepuluh butir keterampilan budaya tersebut bukan dari pemberian bangsa India. Ini benar berarti keberadaan gamelan dan wayang sudah ada sejak jaman prasejarah meski tahun yang tepat sulit diketahui karena masyarakatnya belum mengenal sistem tulisan. Tidak ada bukti tertulis yang dapat dipakai untuk melacak gamelan pada masa prasejarah.
Gamelan merupakan produk budaya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kesenian; dan kesenian merupakan salah satu unsur budaya yang bersifat universal. Ini berarti bahwa setiap bangsa dipastikan memiliki kesenian, meski wujudnya berbeda antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Apabila antarbangsa terjadi kontak budaya, keseniannya pun ikut bersinggungan, sehingga dapat terjadi satu bangsa menyerap bila unsur seni dari bangsa lain disesuaikan dengan kondisi setempat. Oleh karena itu, sejak keberadaannya, gamelan sampai sekarang telah mengalami perubahan dan perkembangan, khususnya dalam kelengkapan ansambelnya.
Istilah “karawitan” yang merujuk pada kesenian gamelan, banyak dipakai oleh kalangan masyarakat Jawa. Istilah tersebut mengalami perkembangan dalam hal penggunaan maupun pemaknaannya. Banyak orang memaknai “karawitan” berangkat dari kata dasar “rawit” yang berarti kecil, halus, atau rumit. Konon, di lingkungan keraton Surakarta, istilah karawitan pernah juga digunakan sebagai payung dari beberapa cabang kesenian, seperti tatah sungging, ukir, tari, hingga pedhalangan (Supanggah, 2002: 5-6).
Dalam pengertian yang sempit, istilah karawitan dipakai untuk menyebut suatu jenis seni suara atau musik yang mengandung salah satu atau kedua unsur berikut ini (Supanggah, 2002: 12): menggunakan alat musik gamelan—sebagian atau seluruhnya baik berlaras slendro atau pelog—sebagian atau semuanya; menggunakan laras (tangga nada) slendro dan/atau pelog, baik instrumental gamelan atau nongamelan maupun vokal atau campuran dari keduanya.
Gamelan Jawa sekarang ini bukan dikenal di Indonesia saja, bahkan telah berkembang di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Canada. Karawitan telah mendunia. Maka itu, cukup ironis apabila bangsa Jawa sebagai pewaris langsung malah tidak peduli terhadap seni ini. Bangsa lain malah sangat apresiatif dan tekun mempelajari gamelan, “mengalahkan” masyarakat pribumi sebagai ahli waris karya agung nenek moyang ini.

Sumber Data tentang Gamelan
Kebudayaan Jawa dan Nusantara umumnya, mulai memasuki zaman sejarah, ditandai dengan adanya sistem tulisan. Selama kurun waktu antara abad VIll sampai abad XV Masehi, kebudayaan Jawa mendapat pengayaan unsur-unsur kebudayaan India. Unsur-unsur budaya India, salah satunya, dapat dilihat pada kesenian gamelan dan seni tari, melalui transformasi budaya Hindu-Buddha.
Data-data tentang keberadaan gamelan ditemukan pada sumber verbal, yakni sumber tertulis berupa prasasti dan kitab-kitab kesusastraan yang berasal dari masa Hindu-Buddha. Pun, sumber ini berupa sumber piktorial, seperti relief yang dipahatkan pada bangunan candi, baik candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Tengah (abad ke-7 hingga ke-10) dan candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Timur yang lebih muda (abad ke-11 sampai ke-15) (Haryono, 1985). Dalam sumber-sumber tertulis masa Jawa Timur, kelompok ansambel gamelan dikatakan sebagai “tabeh-tabehan” (dalam bahasa Jawa Baru “tabuh-tabuhan” atau “tetabuhan”, berarti segala sesuatu yang ditabuh atau dibunyikan dengan dipukul).
Zoetmulder menjelaskan kata “gamèl” dengan alat musik perkusif, yakni alat musik yang dipukul (1982). Dalam bahasa Jawa, ada kata “gèmbèl” yang berarti alat pemukul. Dalam bahasa Bali, ada istilah “gambèlan” yang kemudian mungkin menjadi istilah gamelan. Istilah gamelan telah disebut dalam kaitannya dengan musik. Pada masa Kadiri (abad ke-13 M), seorang ahli musik Judith Becker mengatakan bahwa kata gamelan berasal dari nama seorang pendeta Burma yang seorang ahli besi bernama Gumlao. Kalau pendapat Becker ini benar adanya, tentunya istilah gamelan dijumpai juga di Burma atau di beberapa daerah di Asia Tenggara daratan; namun ternyata tidak.

Gambaran Instrumen Gamelan pada Relief Candi
Pada beberapa bagian dinding Candi Borobudur dapat dilihat jenis-jenis instrumen gamelan yaitu: kendang bertali yang dikalungkan di leher, kendang berbentuk seperti periuk, siter dan kecapi, simbal, suling, saron, gambang. Pada Candi Lara Jonggrang (Prambanan) dapat dilihat gambar relief kendang silindris, kendang cembung, kendang bentuk periuk, simbal (kècèr), dan suling.
Gambar relief instrumen gamelan di candi-candi masa Jawa Timur dapat dijumpai pada Candi Jago (abad ke -13 M) berupa alat musik petik: kecapi berleher panjang dan celempung. Sedangkan pada candi Ngrimbi (abad ke - 13 M) ada relief reyong (dua buah bonang pencon). Sementara itu, relief gong besar dijumpai di Candi Kedaton (abad ke-14 M), dan kendang silindris di Candi Tegawangi (abad ke-14 M). Pada candi induk Panataran (abad ke-14 M) ada relief gong, bendhe, kemanak, kendang sejenis tambur; dan di pandapa teras terdapat relief gambang, reyong, serta simbal. Pada Candi Sukuh (abad ke-15 M) terukir relief bendhe dan terompet.
Berdasarkan data-data pada relief dan kitab-kitab kesusastraan diperoleh petunjuk, bahwa paling tidak ada pengaruh India terhadap keberadaan beberapa jenis gamelan Jawa. Keberadaan musik di India sangat erat dengan aktivitas keagamaan. Musik merupakan salah satu unsur penting dalam upacara keagamaan (Koentjaraningrat, 1985: 42-45). Di dalam beberapa kitab-kitab kesastraan India seperti Natya Sastra, seni musik dan seni tari berfungsi untuk aktivitas upacara. keagamaan (Vatsyayan, 1968). Secara keseluruhan, kelompok musik di India disebut “vaditra” yang dikelompokkan menjadi lima kelas, yakni:
1. tata (instrumen musik gesek),
2. begat (instrumen musik petik),
3. sushira (instrumen musik tiup),
4. dhola (kendang),
5. ghana (instrumen musik pukul).
Pengelompokan yang lain adalah:
1. avanaddha vadya, bunyi yang dihasilkan oleh getaran selaput kulit karena dipukul;
2. ghana vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran alat musik itu sendiri;
3. sushira vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran udara dengan ditiup;
4. tata vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran dawai yang dipetik atau digesek.
Klasifikasi tersebut dapat disamakan dengan membranofon (Avanaddha vadya), ideofon (ghana vadya), aerofon (sushira vadya), kordofon (tata vadya). Irama musik di India disebut “laya”, dibakukan dengan menggunakan pola “tala” yang dilakukan dengan kendang. Irama tersebut dikelompokkan menjadi: druta (cepat), madhya (sedang), dan vilambita (lamban).

KLASIFIKASI INSTRUMEN GAMELAN
1. Kelompok Membranofon (Avanaddha Vadya)
Kelompok membranofon adalah instrumen gamelan, yang sumber bunyi ada pada selaput kulit atau bahan lainnya. Di dalam gamelan Jawa, kelompok ini adalah jenis kendang. Dalam beberapa prasasti diperoleh bukti bahwa instrumen kelompok membranofon telah populer di Jawa sejak pertengahan abad ke-9 Masehi dengan nama: padahi, pataha (padaha), murawa atau muraba, mrdangga, mrdala, muraja, panawa, kahala, damaru, kendang.
Istilah “padahi” tertua dapat dijumpai pada Prasasti Kuburan Candi yang berangka tahun 821 Masehi (Goris, 1930). Istilah tersebut terus dipergunakan sampai era Majapahit sebagaimana dapat dibaca pada Nagarakretagama gubahan Mpu Prapanca tahun 1365 Masehi (Pigeaud, 1960). Bukan tidak mungkin bahwa instrumen musik jenis membranofon merupakan jenis instrumen gamelan yang telah ada sebelum adanya kontak budaya dengan India, yang digunakan pada acara-acara ritual. Hal ini dapat dibandingkan dengan alat-alat musik yang dimiliki suku primitif yang pada umumnya dari kelompok membranofon. Pada zaman kebudayaan logam prasejarah (kebudayaan perunggu) di Indonesia, telah dikenal adanya jenis moko, nekara. Nekara pada zamannya berfungsi sebagai semacam genderang. Penulis tidak sependapat bahwa nekara dalarn perkembangannya kemudian menjadi gong.
Di India, instrumen jenis kendang disebut dengan berbagai nama seperti: dundubhi, pataha, mridangga, panava, murawa, mrdala; dan telah dikenal sejak masa Weda. Jenis dundubhi disebutkan sebagai “kendang yang jika dipukul dapat mengalahkan musuh” (Vatsyayan, 1968:175). Di India, kendang memainkan peran penting dalam upacara dan mengiringi pertunjukan tari sebagaimana disebutkan dalam Natya Sastra. Mridangga termasuk sebagai jenis kendang yang utama. Murawa (muraba), mrdala, mrdangga (mridangga) barangkali berasal dari akar kata yang sama yakni "mrd" yang berarti tanah.
Dalam mitologi disebutkan bahwa mrdangga atau mrdala diciptakan oleh Dewa Brahma untuk mengiringi tarian Dewa Siwa ketika berhasil mengalahkan raksasa Trusurapura (Popley, 1950:123; Haryono, 1986). Dalam kitab Natya Sastra dijumpai istilah bheri, bhambha, dindimas, yang mungkin juga masih termasuk kelompok instrumen kendang. Istilah bheri di Jawa sekarang menjadi kelompok ideofon yang disejajarkan dengan bendhe.
Dalam beberapa kitab sastra Jawa kuno penyebutan bheri berdekatan dengan kata mrdangga, seperti dalam kitab Wirataparwa: "... prasamanggwal bheri mrdangga, ajimur arok silih-wor ikang prang ..." (sama-sama memikul bheri mrdangga, bercampur saling berbaur mereka yang berperang); "... humung tang bheri murawa ..." (Huh suara bheri dan murawa).
Dalam kitab Ramayana (abad X Masehi) disebutkan: "... tinabih ikang bahiri ring taman ..." (bheri ditabuh di taman). Keterangan tersebut memberi kesan bahwa bahiri atau bheri masih dalam kelompok membranofon. Berdasarkan data-data pada kitab-kitab sastra, mrdala atau murawa merupakan instrumen yang sangat penting yang dikombinasikan dengan alat musik yang lain seperti sangkhakala, vina, baribit.
Penyebutan dengan berbagai nama, menunjukkan adanya berbagai bentuk kendang dan bahan. Dalam seni arca, kendang kecil yang dipegang oleh dewa disebut damaru. Pada relief Candi Borobudur (awal abad ke-9 M) dan Candi Siwa di Prambanan (pertengahan abad ke-9 M) dilukiskan bermacam-macam bentuk kendang (Haryono, 1985; 1986). Ada kendang bentuk silindris langsing, bentuk tong asimetris, bentuk kerucut.
Pada pagar langkan Candi Siwa, kendang ditempatkan di bawah perut dengan semacam tali. Pada candi-candi yang lebih muda dari abad ke-14, relief kendang dapat dilihat di candi-candi masa klasik muda (periode Jawa Timur), seperti Candi Tegawangi dan Candi Panataran. Di Candi Tegawangi juga dijumpai relief seseorang yang membawa kendang bentuk silindris dengan tali yang dikalungkan pada kedua bahu. Di Candi Panataran, relief kendang digambarkan hanya berselaput satu sisi dan ditabuh dengan menggunakan pemukul berujung bulat.
Jaap Kunst (1968:35-36) menyebut instrumen musik ini “dogdog”. Adanya kesamaan penyebutan kendang dalarn sumber tertulis Jawa Kuna dengan sumber tertulis di India membuktikan bahwa kontak budaya antara keduanya mencakup pula dalam bidang seni pertunjukan. Namun tidak berarti bahwa kendang Jawa merupakan pengaruh kendang India.
Berdasarkan akar kata mrd, maka kata mredangga dalam prasasti mungkin sekali adalah kendang yang dibuat dari tanah liat. Dalam perkembangan kemudian di Jawa, kata mredangga menjadi pradangga dalam bahasa Jawa Baru, yang berarti penabuh gamelan atau niyaga. Perubahan seperti ini terdapat juga pada kata kamsa atau kangsa yang berarti perunggu, yang kemudian di Jawa berubah menjadi gangsa yang berarti gamelan. Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa kata gangsan berasal dari kata gasa sebagai kata singkatan (akronim) dari kata tiga + sedasa atau tembaga + rejasa, tidak berdasarkan pada hasil penelitian yang valid (Haryono, 2002; 2004:48).
Penelitian metalurgis perunggu atas dasar komposisi unsur bahan, juga tidak membuktikan adanya komposisi tiga berbanding sedasa (3:10). Hasil penelitian komposisi unsur pada gamelan buatan dari Papringan (Yogyakarta) = Cu 52,87% : Sn 34,82% : Zn 12,55% ; dari Bekonang (Surakarta) = Cu 48,80% : Sn 39,88% : Zn 10,86%; dan dari Kauman (Magetan) = Cu 51,00% : Sn 40,26% : Zn 8,39%. Cu adalah tembaga, Sn untuk timah putih, dan Zn untuk seng. Jelaslah bahwa komposisi tersebut tidak menggambarkan perbandingan 3 (tiga) : 10 (sedasa) seperti pendapat pada umumnya (Haryono, 2004:51-52).
Istilah gangsa yang berarti gamelan sudah digunakan pada abad ke-12 Masehi seperti dijumpai dalam kitab Smaradahana (pupuh XXIX:8): "ginding daityaddhipati ya ta tinabih kendang, gong, gangsa, gubar asahuran...” artinya gending dari Sang Raja Raksasa dibunyikan, kendang, gong, gangsa, dan gubar bersahut-sahutan (Poerbatjaraka, 1951; Sedyawati, 1985:236). Dalam gamelan sekarang yang disebut gambang gangsa adalah jenis gambang yang dibuat dari bahan logam (perunggu atau kuningan).
Jenis instrumen membranofon lainnya adalah “bedug” dan “trebang”. Istilah bedug dijumpai pada kitab yang lebih muda yakni Kidung Malat. Dalam Kakawin Hariwangsa, Ghatotkacasraya, dan Kidung Harsawijaya, instrumen sejenis disebut “tipakan”. Selain itu, ada istilah “tabang-tabang” dalam kitab Ghatotkacasraya dan kitab Sumanasantaka, yang mungkin kemudian berkembang menjadi istilah “tribang”. Kutipan teks berikut: "ginding sri saha damya-damyan anameni kidung miring ing tabang tabang" (Gatotkacasraya, 37:7); "tabang-tabang ramya karingwangsulan". Jika ini benar, berarti apa yang kita sebut trebang maupun bedhug bukan instrumen musik yang munculnya setelah datangnya kebudayaan Islam melainkan telah ada sejak abad ke-12 M (Zoetmulder, 1983: 317-395).

2. Kelompok Ideofon (Ghana Vadhya)
Instrumen musik kelompok ini adalah jenis instrumen musik yang sumber bunyinya berasal dari “badan” alat musik itu sendiri; dan oleh para ahli musik digolongkan sebagai alat musik yang tertua jika dibandingkan dengan jenis yang lain (Ferdinandus, 1999). Beberapa di antara instrumen musik jenis ini yang dapat dijumpai dalam prasasti dan kitab sastra, yaitu tuwung, kangsi, rigang, curing, rojeh, brikuk, bungkuk, kamanak, gambang, calung, salunding, barung, ganding, dan gong.
Prasasti-prasasti masa Jawa Tengah (abad ke-9 Masehi) banyak menyebut istilah “curing”, “regang”, “tuwung”, “brikuk”. Curing dan tuwung merupakan jenis simbal. Curing barangkali sejenis simbal yang dibuat dari logam. Dalam Prasasti Kuti tahun 762 Saka (840 M) disebutkan: "Mangkana yan pamuja mangungkunga curing..." (adapun jika mengadakan pemujaan, supaya menabuh curing). Kata “mangungkunga” dalam bahasa Jawa Baru sekarang masih dapat dijumpai sebagai tiruan bunyi gamelan “ngungkung”. Jenis instrumen gamelan curing ini sangat populer pada masa Jawa Kuna; terbukti banyak disebutkan dalam Prasasti Penetapan Sima (abad ke-9 hingga ke-12 M). Dari prasasti tersebut dapat disimpulkan bahwa perlengkapan gamelan dibunyikan dalam konteks ritual (upacara pemujaan).
Menurut Jaap Kunst (1968:52), curing dan tuwung adalah alat musik yang sama sejenis kicer. Nama celuring sekarang ada pada gamelan di keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman. Mungkin celuring berasal dari kata curing yang mendapat sisipan “el” untuk menyatakan kata jamak. Bila demikian maka gambaran bentuk curing pada masa Jawa Kuna sama seperti celuring sekarang. Sementara itu, di beberapa kitab sastra disebutkan jenis instrumen gamelan “rojeh” seperti dalam kitab Hariwangsa, Kresnayana, Sumanasantaka, Siwaratrikalpa, dan Kidung Harsawijaya. Instrumen gamelan ini ditafsirkan sejenis simbal. Demikian pula istilah “baribit” disebut sebagai nama jenis instrumen gamelan dalam Ramayana.
Nama “brikuk” sebagai nama instrumen gamelan dijumpai dalam Prasasti Panggumulan tahun 902 M dan pada Prasasti Lintakan 919 M. Sedangkan dalam Prasasti Paradah tahun 943 M dijumpai istilah “bungkuk”. Dalam gamelan sekarang ini ada nama “ketuk”. Istilah ketuk telah ada pada zaman Kadiri sebagaimana disebut dalam Hariwangsa karya Mpu Panuluh. Dalam kitab tersebut diceritakan suasana keindahan alam ketika Rukmini dan Kresna dalam sebuah perjalanan yang diibaratkan sebagai pertunjukan wayang, diiringi gamelan: salunding, kituk, dan talutak.
Uraian tersebut sekaligus menggambarkan bahwa pertunjukan wayang abad ke-12 diiringi ansambel gamelan yang masih sederhana. Mungkinkah brikuk dan bungkuk adalah instrumen pencon seperti ketuk dan kenong sekarang? Menurut J. Kunst (1968:63), baik brikuk maupun bungkuk adalah penyebutan yang sama untuk satu jenis instrumen. Mungkin sekali brikuk, bungkuk, dan kituk adalah bentuk instumen gamelan yang sejenis. Bentuk instrumen gamelan pencu dipahatkan pada candi-candi masa Jawa Timur abad ke-14 Masehi dan sesudahnya seperti Candi Panataran, Candi Sukuh, dan Candi Ngrimbi.
Relief instrumen gamelan berpencu di Panataran maupun Candi Ngrimbi barangkali dapat dinamakan “reyong”. Instrumen ini dibunyikan dengan tongkat pendek dipegang dengan lengan kanan dan kiri. Susunannya yang banyak dalam satu rancak kemudian menjadi “bonang”. Kalau susunannya sedikit, masing-masing dalam satu rancak dinamakan “kenong”. Dalam sumber tertulis, istilah reyong dijumpai dalam Pararaton. Dalam sumber tertulis yang lebih tua, yakni Prasasti Polengan I, tahun 870 Masehi disebut istilah “makajar” yang berarti pemain kajar. Kajar adalah sejenis instrumen musik pencu.
Gong adalah jenis instrumen gamelan yang sangat penting pula. Dalam bentuk relief, sumber tertua dapat dilihat pada relief cerita Arjunawiwaha di Gua Selamangleng, Tulungagung, dari abad ke-11 M (Bernet Kempers, 1959: 87). Kemudian digambarkan pada relief cerita Bhomantaka di Candi Kedaton, dan relief Ramayana di Candi Panataran (abad ke-14 M). Hal ini tidak berarti bahwa gong belum dikenal sebelum abad ke-11.
Dalam Ramayana Jawa Kuna yang berasal dari abad ke-9 Masehi telah disebut-sebut “gong” (Poerbatjaraka, 1926: 265-272). Dalam berita Cina dari dinasti Tang (618-906 M) disebutkan bahwa “jika raja Poli keluar kota, ia mengendarai kereta yang ditarik oleh gajah dan diiringi musik yang terdiri dari gong, kendang, dan terompet” (Haryono, 2001). Tampaknya instrumen gamelan tersebut sampai sekarang tetap bernama gong pada abad ke-9 Masehi sebagai instrumen gamelan yang penggunaannya terbatas di keraton, sehingga oleh Kunst dikatakan sebagai “royal instrument” (Kunst, 1968:66). Lagi pula, ditinjau dari teknik pembuatan, gong memerlukan teknik lebih rumit dan bahan yang lebih mahal sehingga tidak setiap kelompok masyarakat dapat memiliki.
Istilah gong dalam hal ini digunakan untuk menyebut gong ukuran besar (gong gedhe); sedangkan untuk ukuran yang lebih kecil mungkin ada istilah lain seperti: gubar, bendhe, bheri. Istilah gong juga dipakai untuk mewakili seluruh ansambel gamelan. Masyarakat Jawa mengatakan bahwa kalau punya hajatan akan nggantung gong berarti akan menyelenggarakan klenengan.
Dalam kitab Bharatayuddha disebutkan gending, gong, dan gubar dalam satu kelompok. Sangat menarik bahwa dalam Kidung Wangbang Wideya (dari masa Kadiri) yang berisi cerita Panji disebutkan jenis gong dengan istilah “gong Bentar Kadatwan”, bersama-sama dengan gamelan yang lain yakni curing dan gong, yang dibunyikan untuk mengiringi pertunjukan wayang (Robson, 1977). Adapun “gubar” ditafsirkan sebagai sejenis gong ukuran sedang. Dalam Bharatayuddha, gubar disebut bersama-sama dengan sangkha dan saragi, dibunyikan oleh prajurit dalam peperangan. Dalam konteks “gubar saragi”, berarti istilah saragi dapat juga berarti sejenis gong. Di Ternate kata saragi berarti gong (Haryono, 2001:107).
Gambang disebutkan dalam sumber tertulis Kitab Malat, dan menurut berita Cina masa Dinasti Song (966-1279 M), dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Raja Jayabhaya dari Kadiri masyarakat Jawa telah dapat bermain seruling, kendang, dan xylophone (gambang) dari kayu (Groeneveldt, 1960:17). Dalam sumber-sumber tertulis yang lain seperti kitab Sumanasantaka, Prasasti Buwahan abad ke-11 M, Prasasti Pura Kehen (abad ke-12 M) disebut istilah “calung” dan istilah “galunggang” dan “garantung” dalam sumber yang lain. Istilah “gender” mulai disebut pada zaman Kadiri yakni dalam Kidung Wangbang Wideya yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang bersama dengan ridip dan gong. Instrumen gamelan yang terdiri atas bilah-bilah (wilahan) yang dirangkai telah ada pada masa Candi Borobudur. Relief seperti tersebut juga dapat dilihat pada candi yang lebih muda yakni Candi Panataran. Bila gambang sudah dikenal, seharusnya jenis saron juga sudah dikenal.
Barangkali relief yang dipahatkan pada Candi Borobudur menggambarkan saron, bukan gambang. Istilah “saron” baru ditemukan dalarn sumber tertulis setelah abad ke-15 M (kitab Arjunapralabda). Dalam sumber tertulis, ada istilah “barung” yang ditafsirkan sebagai saron (Juynboll, 1923:401). Dalam kitab Bharatayuddha, Gahtotkacasraya, dan Hariwangsa serta beberapa prasasti Bali kuno abad ke 12 Masehi dijumpai istilah “salunding”. Gamelan salunding sampai sekarang masih dapat dijumpai di Bali.
Instrumen gamelan berikutnya yang cukup tua keberadaannya adalah “kemanak”. Dalam kakawin Bharatayuddha, kitab Calon Arang, disebutkan kamanak bersama-sama dengan kangsi. Bahkan dalam kitab Calon Arang dikatakan bahwa kamanak dan kangsi dipakai untuk mengiringi tarian sakral yang dilakukan oleh Calon Arang dan murid-muridnya.

3. Kelompok Aerofon (Sushira Vadya)
Jenis instrumen yang termasuk kelompok ini adalah gamelan yang sumber bunyinya adalah udara yang ditiup. Pada ansambel gamelan Jawa sekarang, seruling merupakan kelengkapan dalam gamelan klenengan atau uyon-uyon. Dalam kitab Natya Sastra, seruling (suling) disebut dengan istilah “vamsa” yang artinya bambu dan dibunyikan bersama-sama dengan “vino” (wina). Bukti piktorial keberadaan suling pada masa Jawa kuno dapat dilihat pada relief Candi Borobudur pada relief Karmawibhangga, relief Jataka, dan Lalitawistara, dan terdapat juga pada relief di Candi Jago dan Candi Panataran.
Berdasarkan data relief tersebut dapat dibedakan dua macam seruling, yaitu seruling melintang (suling miring) dan seruling membujur (vertikal). Dalam sumber tertulis, seruling disebut dalam kitab Ramayana Jawa Kuna dengan istilah “bangsi” dan dibunyikan bersama-sama dengan instrumen rawandsta. Kata bangsi atau wangsi sangat boleh jadi berasal dari kata yang sama Sanskerta “vamsa”. Dalam kitab yang lebih muda yakni Writtasancaya karya Mpu Tanakung seruling disebut “suling”. Kitab Ramayana Jawa Kuna juga menyebutkan istilah suling. Demikian pula di Bali, dalam prasasti Batur Pura Abang A tahun 1011 Masehi disebut suling. Ini berarti bahwa sejak abad ke-11 suling telah masuk dalam kelengkapan gamelan.
Selain seruling dalam sumber tertulis maupun relief ada alat musik tiup, yakni terompet yang disebut “sangkha”. Sangkha adalah kerang laut dan sebagai alat musik tiup telah lama digunakan di India. Dalam ikonografi Hindu, sangkha merupakan atribut Dewa Wisnu, Kresna. Dalam relief Ramayana di Candi Brahma (Prambanan), sangkha ditiup untuk membangunkan Kumbakarna (adik Rahwana) yang tidur. Dalam Nagarakretagama disebutkan “gumang kahala sangka lan padaha ganjuran....” (gemuruh suara kahala sangka dan kendang, ganjuran) (pupuh 65:1). Dalam Ramayana, sangka disebut dengan “kalasangkha”; dan dalam kitab Wirataparwa disebut “sangkhakahala” (Kunst, 1968). Istilah “kahala sangka” dan “sangkha kahala” sekarang menjadi “sangkakala”; sedangkan “ganjuran” sebagai instrumen gamelan barangkali sejenis genderang (?). Istilah gamelan Kala Ganjur sekarang ini berasal dari kata “kahala” dan “ganjur”, istilah yang telah ada sejak zaman Majapahit. Jenis terompet yang lain adalah “pereret” sebagaimana disebut dalam Kidung Rangga Lawe.

4. Kelompok Kordofon (Tata Vadya)
Instrumen gamelan yang termasuk dalam kelompok ini pada gamelan Jawa sekarang disebut dengan istilah siter, celempung, dan rebab. Istilah “celempung” pertama kali dijumpai dalam sumber tertulis Hikayat Cekelwanengpati. Pada relief di Candi Jago dilukiskan gambar seseorang yang sedang memainkan celempung. Dalam Kidung Wangbang Wideya disebut instrumen gamelan “samepa” dan gamelan ini ditafsirkan sebagai “rebab” (Kunst, 1968). Sementara itu “kachapi” disebutkan dalam Kidung Hausa Wijaya bersama-sama dengan gamelan lainnya yakni: gong, ridip, dan ginding.
Prasasti-prasasti Jawa Kuna menyebutkan istilah “wina”, “rawanahasta”, dan “panday rawanahasta”. Kata rawanahasta berarti “tangan rawana” dan “panday rawanahasta” berarti “tukang membuat rawanahasta”. Rawanahasta ditafsirkan sebagai instrumen gamelan berdawal sejenis lute yang berbentuk seperti tangan (Kunst, 1968; Sarkar, 1972). Kitab Ramayana Jawa Kuna menyebutkan: “makinara” dan “malawuwina”. Lawuwina artinya wina yang berbentuk seperti buah labu. Harpa tampaknya telah digunakan pada masa lampau seperti terlihat pada relief di Candi Borobudur dan di pemandian Jalatunda (Jawa Timur). Demikian pula ada beberapa arca logam yang yang ditemukan di Nganjuk dan Suracala (Yogyakarta) yang menggambarkan dewi memegang alat musik petik.

Disarikan dari tulisan Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc. (K.R.A. Haryono Hadiningrat), budayawan Jawa, Guru Besar dalam Ilmu Arkeologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Anggota Dewan Pakar Lembaga Studi Jawa Sekar Jagad; dimuat di Majalah Sasmita edisi I tahun 2007
*dikutip dari http://www.wacananusantara.org/2/313/gamelan-dalam-artefak-budaya

Filosofi Rumah Tradisional Jawa

Filosofi Rumah Tradisional Jawa*
Bangunan tradisi atau rumah adat merupakan salah satu wujud budaya yang bersifat konkret. Dalam kontruksinya, setiap bagian/ruang dalam rumah adat sarat dengan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat pemilik kebudayaan tersebut. Begitu juga dengan rumah tradisi Jawa. Konstruksi bangunan yang khas dengan fungsi setiap bagian yang berbeda satu sama lain mengandung unsur filosofis yang yang sarat dengan nilai-nilai religi, kepercayaan, norma dan nilai budaya adat etnis Jawa. Selain itu, rumah tradisi Jawa memiliki makna historis yang perlu dipelihara dan dilestarikan.

Akibat perubahan masyarakat dewasa ini, tradisi-tradisi lama cenderung ditinggalkan. Hal ini terjadi akibat perubahan pola pikir yang didukung oleh perubahan sosial dan lingkungan masyarakat. Begitu pula dengan rumah tradisi yang semakin jarang ditemukan. Di perkotaan pada umumnya, masyarakat lebih nyaman membangun rumah dengan konsep modern atau tinggal di perumahan dan apartemen. Tidak hanya di kota, masyarakat pedesaan pun mulai merubah tempat tinggalnya menjadi bangunan modern.

Perubahan tersebut tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan saat ini. Maka tidak mengherankan apabila generasi muda etnis Jawa sendiri tidak mengenal secara mendalam tentang rumah adat Jawa. Selain sulit untuk menemukan rumah tersebut di lingkungan tempat tinggalnya, sedikit sekali sumber informasi yang bisa mereka peroleh. Banyak bangunan bernilai historis berarsitektur Jawa maupun etnis lain yang tidak terpelihara atau bahkan dibongkar karena tidak dapat difungsikan lagi dan diganti dengan gedung/bangunan modern.

Rumah tradisi Jawa masih bisa ditemukan pada Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. berciri tropis sebagai upaya penyesuaian terhadap kondisi lingkungan yang beriklim tropis. Salah satu bentuk penyesuaian terhadap kondisi tersebut dengan membuat teras depan yang luas, terlindung dari panas matahari oleh atap gantung yang lebar, mengembang ke segala sudut yang terdapat pada atap joglo (Indrani, 2005: 47). Menurut Rahmanu Widayat (2004: 2) Rumah tradisi Jawa yang bentuknya beraneka ragam mempunyai pembagian ruang yang khas yaitu terdiri dari pendopo, pringgitan, dan dalem.

Terjadi penerapan prinsip hirarki dalam pola penataan ruangnya. Setiap ruangan memiliki perbedaan nilai, ruang bagian depan bersifat umum (publik) dan bagian belakang bersifat khusus (pribadi/privat). Uniknya, setiap ruangan dari bagian teras, pendopo sampai bagian belakang (pawon dan pekiwan) tidak hanya memiliki fungsi tetapi juga sarat dengan unsur filosofi hidup etnis Jawa. Unsur religi/kepercayaan terhadap dewa diwujudkan dengan ruang pemujaan terhadap Dewi Sri (Dewi kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga) sesuai dengan mata pencaharian masyarakat Jawa (petani-agraris). Ruang tersebut disebut krobongan, yaitu kamar yang selalu kosong, namun lengkap dengan ranjang, kasur, bantal, dan guling dan bisa juga digunakan untuk malam pertama bagi pengantin baru (Widayat, 2004: 7). Krobongan merupakan ruang khusus yang dibuat sebagai penghormatan terhadap Dewi Sri yang dianggap sangat berperan dalam semua sendi kehidupan masyarakat Jawa.

Rumah tradisi Jawa banyak mempengaruhi rumah tradisi lainnya, diantaranya rumah abu (bangunan yang didirikan oleh keluarga semarga dan digunakan sebagai rumah sembahyang dan rumah tinggal untuk menghormati leluhur etnis Cina). Oleh karena itu, struktur rumah abu memiliki banyak persamaan dengan rumah tradisi Jawa dalam berbagai segi.

Tulisan ini akan mengungkap konstruksi rumah tradisi Jawa secara fisik dan meninjaunya dari segi filosofis masyarakat Jawa. Bangunan atau rumah tradisi tidak hanya dibangun sebagai tempat tinggal tetapi juga diharapkan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi penghuninya melalui pernggabungan unsur makrokosmos dan mikrokosmos di dalam rumah tersebut. Dengan demikian diharapkan keseimbangan hidup tercapai dan membawa dampak positif bagi penghuninya. Mendalami unsur filosofi dalam rumah tradisi Jawa membuka kemungkinan usaha generasi muda sebagai pewaris kebudayaan di masa yang akan datang untuk memelihara dan melestarikan warisan generasi pendahulunya.

Konstruksi Rumah Tradisi Jawa
Rumah tradisi Jawa mengalami beberapa fase perubahan yang panjang. Salah satunya adalah bangunan rumah Jawa yang terdapat pada relief-relief Candi Borobudur berbentuk rumah panggung (Widayat, 2004: 4).

Teras dan Pendopo
Di bagian depan, rumah tradisi Jawa memiliki teras yang tidak memiliki atap dan pendopo (pendhapa) yaitu bagian depan rumah yang terbuka dengan empat tiang (saka guru) yang merupakan tempat tuan rumah menyambut dan menerima tamu-tamunya. Bentuk pendopoumumnya persegi, di mana denah berbentuk segi empat selalu diletakkan dengan sisi panjang ke arah kanan-kiri rumah sehingga tidak memanjang ke arah dalam tetapi melebar ke samping (Indrani, 2005: 7).

Pendopopada rumah Jawa terbuka tanpa pembatas pada keempat sisinya, hal ini melambangkan sikap keterbukaan pemilik rumah terhadap siapa saja yang datang. Pendopobiasanya dibangun lebih tinggi dari halaman, ini dimaksudkan untuk memudahkan penghuni menerima tamu, bercakap-cakap sambil duduk bersila di lantai beralas tikar sesuai tradisi masyarakat Jawa yang mencerminkan suasana akrab dan rukun.

Bentuk salah satu ruang dalam rumah tradisi Jawa tersebut memperlihatkan adanya konsep filosofis tentang makna ruang yang dalam dimana keberadaan pendoposebagai perwujudan konsep kerukunan dalam gaya hidup masyarakat Jawa. Pendopotidak hanya sekedar sebuah tempat tetapi mempunyai makna filosofis yang lebih mendalam, yaitu sebagai tempat untuk mengaktualisasi suatu bentuk/konsep kerukunan antara penghuni dengan kerabat dan masyarakat sekitarnya (Hidayatun, 1999:7). Pendopo merupakan aplikasi sebuah ruang publik dalam masyarakat Jawa.

Pringgitan
Ruang yang masih berfungsi sebagai ruang publik adalah ruang peralihan dari pendopomenuju ke dalem ageng disebut pringgitan, yang juga berfungsi sebagai tempat mengadakan pertunjukan wayang kulit pada acara-acara tertentu. Pringgitanmemiliki makna konseptual yaitu tempat untuk memperlihatkan diri sebagai simbolisasi dari pemilik rumah bahwa dirinya hanya merupakan bayang-bayang atau wayang dari Dewi Sri (dewi padi) yang merupakan sumber segala kehidupan, kesuburan, dan kebahagiaan (Hidayatun, 1999:39). Menurut Rahmanu Widayat (2004: 5), pringgitan adalah ruang antara pendhapa dan dalem sebagai tempat untuk pertunjukan wayang (ringgit), yaitu pertunjukan yang berhubungan dengan upacara ruwatan untuk anak sukerta (anak yang menjadi mangsa Bathara Kala, dewa raksasa yang maha hebat).

Dalem Ageng
Semakin masuk ke bagian dalam rumah tradisi Jawa, semakin menunjukkan hirarki dalam pola penataan ruangnya. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, semakin masuk ke bagian belakang ruangan tersebut bersifat khusus (pribadi/privat). Bagian dalam dari rumah tradisi Jawa disebut dalem ageng. Ruangan ini berbentuk persegi yang dikelilingi oleh dinding pada keempat sisinya. Dalem ageng merupakan bagian terpenting dalam rumah tradisi Jawa sebab di dalamya terdapat tiga senthong atau tiga kamar. Tiga senthong tersebut dinamakan senthong kiwa, senthong tengah dan senthong tengen. Senthong tengah dinamakan juga krobongan yaitu tempat untuk menyimpan pusaka dan tempat pemujaan terhadap Dewi Sri. Senthong tengah atau krobongan merupakan tempat paling suci/privat bagi penghuninya. Sedangkan senthong kiwa dan senthong tengen berfungsi sebagai ruang tidur anggota keluarga. Senthong kiwa merupakan ruang tidur anggota keluarga laki-laki dan senthong tengen berfungsi sebagai ruang tidur anggota keluarga perempuan.

1. Pendhapa
2. Pringgitan
3. Dalem
a. Senthong kiwo
b. Senthong tengah
c. Senthong tengen
4. Gandhok dan pawon.

Krobongan
Kepercayaan masyarakat Jawa terhadap Dewi Sri tidak lepas dari kehidupan mereka yang agraris. Dewi Sri merupakan dewi kesuburan yang berperan penting dalam menentukan kesejahteraan masyarakat agraris (para petani). Agar dalam berusaha lancar maka perlu menyediakan tempat yang khusus di rumahnya untuk menghormati Sang Tani. Y.B. Mangunwijaya (1992 : 108) menjelaskan yang dimaksud dengan Sang Tani adalah bukan manusia si petani pemilik rumah, melainkan para dewata, atau tegasnya Dewi Sri.

Di dalam dalem atau krobongan disimpan harta pusaka yang bermakna gaib serta padi hasil panen pertama, Dewi Sri juga dianggap sebagai pemilik dan nyonya rumah yang sebenarnya. Di dalam krobongan terdapat ranjang, kasur, bantal, dan guling, adalah kamar malam pertama bagi para pengantin baru, hal ini dimaknai sebagai peristiwa kosmis penyatuan Dewa Kamajaya dengan Dewi Kama Ratih yakni dewa-dewi cinta asmara perkawinan(Mangunwijaya, 1992: 108). Di dalam rumah tradisi Jawa bangsawan Yogyakarta, senthong tengah atau krobongan berisi bermacam-macam benda-benda lambang (perlengkapan) yang mempunyai kesatuan arti yang sakral (suci). Macam-macam benda lambang itu berbeda dengan benda-benda lambang petani. Namun keduanya mempunyai arti lambang kesuburan, kebahagiaan rumah tangga yang perwujudannya adalah Dewi Sri (Wibowo dkk., 1987 : 63).

Gandhok dan Pawon
Ruangan di bagian belakang dinamakan gandhok yang memanjang di sebelah kiri dan kanan pringgitan dan dalem. Juga terdapat pawon yang berfungsi seagai dapur dan pekiwan sebagai wc/toilet. Ruangan-ruangan tersebut terpisah dari ruangan-ruangan utama, apalagi dari ruangan yang bersifat sakral/suci bagi penghuninya.

Pola organisasi ruang dalam rumah tradisi Jawa dibuat berdasarkan tingkatan atau nilai masing-masing ruang yang terurut mulai dari area publik menuju area private atau sakral. Pembagian ruang simetris dan menganut pola closed ended plan yaitu simetris keseimbangan yang berhenti dalam suatu ruang, yaitu senthong tengah (Indrani, 2005: 11).

Dewi Sri dalam Krobongan Rumah Tradisi Jawa

Dewi Sri sangat akrab dengan masyarakat agraris Jawa. Bagi mereka, Dewi Sri merupakan icon sekaligus tokoh penting yang sangat berperan dalam menentukan hasil panennya nanti. Maka tidak aneh apabila di rumah pribadi mereka, terdapat tempat khusus yang digunakan sebagai tempat pemujaan terhdapa Dewi Sri. Selain itu, Dewi Sri juga dikenal sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan rumah tangga.

Dewi Sri dalam buku Sejarah Wayang Purwa (Hardjowirogo, 1982 : 72) dijelaskan Dewi Sri adalah putri Prabu Srimahapunggung dari negara Medangkamulan. Dewi Sri bersaudara laki-laki yang bernama Raden Sadana.

Gambar 2. Penggambaran Dewi Sri dalam 
Wayang Purwa (http://img181.exs.cx/img181/9018/shinta8tl.jpg).

Dewi Sri meninggalkan Medangkamulan untuk menyusul saudaranya yang menolak untuk dikawinkan. Ia mendapat berbagai cobaan dalam perjalanannya. Seorang raksasa terus menggodanya. Setelah itu ia dikutuk menjadi ular sawah oleh ayahnya namun kemudian ia berhasil kembali menjadi Dewi Sri seperti semula. Selama perjalanan, Dewi Sri banyak mendapat pengalaman yang berhubungan dengan pertanian.

Menurut Lombard (1996: 82), walaupun mitos Dewi Sri berasal dari India namun di beberapa pulau di Nusantara yang tidak tersentuh pengaruh India pun mengenal sosok Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan. Ceritanya pun hampir sama, yaitu Dewi Sri yang dikorbankan lalu dari seluruh bagian tubuhnya tumbuh berbagai tanaman budidaya yang utama seperti padi. Mitos tersebut sangat kental dengan pengaruh Hindu. Hal ini bisa saja terjadi akibat adanya asimilasi antara paham animisme dan Hindu. Hasilnya muncul seorang tokoh simbolik kaum petani Jawa, yang melindungi tanaman padinya terhadap gangguan-gangguan hama tanaman padi, yang dianggap berasal dari para lelembut atau jin mrekayangan (Widayat, 2004: 10). Berbagai cerita padi muncul di Jawa sebelum datangnya pengaruh Hindu dan ada kemungkinan cerita tersebut setelah datangnya paham Hindu diubah dan disesuaikan dengan ajaran Hindu.

Penghormatan terhadap Dewi Sri juga dilakukan dalam upacara-upacara adat. Salah satunya adalah upacara bersih desa. Dalam upacara tersebut digelar pertunjukan wayang kulit dengan lakon berjudul Srimantun yang menggambarkan reinkarnasi Dewi Sri sebagai Dewi Kemakmuran dan anugerah dari dewata terhadap negara agar menjadi negara yang mekmur dan sejahtera serta tidak kekuarangan apapun. Untuk upacara bersih desa biasanya dipersembahkan sesajian yang diletakkan di dekat sawah antara lain terdiri atas :
1. Kelapa muda
2. Nasi dan telur ayam (puncak manik )
3. Rujak manis (pisang, asam)
4. Ketupat
5. Lepet
6. Cermin
7. Minyak kelapa
8. Minyak wangi
(Widayat, 2004: 13).

Krobongan sebagai ruangan khusus sebagai bentuk penghormatan terhadap Dewi Sri memiliki makna yang terdapat pada setiap benda yang ada di dalamnya.
a. Padi; Dewi Sri merupakan Dewi Kesuburan dan dilambangkan oleh apdi di dalam krobongan.
b. Patung Loro-Blonyo; patung mempelai pria dan wanita adat Jawa ini diletakkan di depan krobongan yang melambangkan kegahagiaan suami istri dan lambang kesuburan.
c. Pusaka/keris; pusaka/keris yang merupakan benda suci maka akan diletakkan di tempat suci pula seperti krobongan.
d. Kain Cindai/patola India; penutup tempat tidur dan bantal serta guling di dalam krobongan merupakan kain cindai/patola India. Karena memiliki pola yang sarat dengan makna Hindu (pola jlamprang dan cakra-senjata Dewa Wisnu dan delapan tataran yoga)maka kain ini dianggap memiliki kesaktian dan keberadaannya pun dikeramatkan.
e. Hiasan Naga; hiasan naga pada krobongan muncul setelah mendapat pengaruh Hindu. Cerita Amertamanthana (dalam cerita Mahabarata) yang menceritakan sewaktu ular Basuki melilit pada pinggang gunung Mandara yang membantu untuk keluarnya air amerta (abadi) yang dibutuhkan para dewa untuk diminum (Wibowo dkk., 1987 : 157). Sebelum datangnya Hindu ke Nusantara (zaman Neolitikum), dunia dianggap memiliki dua bagian yaitu dunia atas dan dunia bawah yang memiliki sifat-sifat bertentangan. Dunia atas dilambangkan dengan matahari, terang, atas, rajawali, kuda sedangkan dunia bawah dilambangkan dnegan gelap, bumi, bulan, gelap, air, ular, kura-kura, buaya (Soegeng, 1957 : 11). Berdasarkan kepercayaan neolitikum dan cerita Mahabarata, ular selalu dikaitkan dengan air Makna hiasan ular pada krobongan merupakan simbol agar dalam bertani tidak akan kekurangan air (Widayat, 2004: 17).
f. Hiasan Burung Garuda; hiasan garuda pada krobongan merupakan simbol penyeimbang dari hiasan naga atau ular yang melmbangkan dunia bawah, maka garuda melambangkan dunia atas. Selain itu, burung garuda mengingaktkan pada cerita Gurudeya. Burung garuda yang merupakan anak Winata menyelamatkan ibunya dari perbudakan dan menjadikan para dewa tidak mati. Dalam cerita tersebut, burung garuda menjadi sosok pemberantas kejahatan, dan hal inilah yang diharapkan sehingga hiasan burung garuda diletakkan pada krobongan (Widayat, 2004: 17).

Simpulan
Rumah tradisi Jawa memiliki beberapa ruangan yang simetris dan terdapat hirarki ruang di dalamnya. Dari luar terdapat ruang publik yang besifat umum, semakin ke dalam ruangan yang ada bersifat pribadi (private). Bagian luar yang disebut teras merupakan ruangan terbuka tanpa atap. Teras juga merupakan ruang publik sebagai area peralihan dari luar ke dalam rumah.

Ruangan selanjutnya yaitu Pendopo yang masih berfungsi sebagai ruang publik, di ruangan inilah biasanya tuan rumah menerima tamu-tamunya. Pendopo memiliki bentuk ruangan persegi dan memiliki empat tiang (soko guru) yang terdapat di tengah-tengah pendopo. Ruangan ini tidak memiliki pembatas pada keempat sisinya, hal ini melambangkan keterbukaan pemiliknya terhadap siapa saja yang datang. Pendopo menggambarkan gaya hidup masyarakat Jawa yang rukun.

Pringgitan merupakan ruang peralihan antara area publik dan privat, yaitu terletak diantara pendopo dan dalem ageng. Pringgitan juga berfungsi sebagai tempat pertunjukan wayang kulit apabila ada acara khitanan, ruwatan, perkawinan, dsb. Ruangan yang disebut dalem ageng merupakan ruang privat (pribadi), salah satu fungsinya sebagai ruang berkumpulnya seluruh anggota keluarga. Bentuk ruangan ini persegi dengan dilingkupi dinding pada setiap sisinya. Di dalam ruangan dalem ageng terdapat tiga petak ruangan yang berukuran sama besar disebut senthong. Senthong kiwa dan senthong tengen di sisi kanan dan kiri merupakan tempat tidur anggota keluarga pria dan wanita, sedangkan senthong tengah merupakan senthong paling sakral/suci. Senthong tengah atau krobongan merupakan tempat pemujaan kepada Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga. Senthong tengah merupakan area paling privat (pribadi) bagi pemilik rumah tradisi Jawa.

Bagian rumah lain yang bersifat privat adalah gandhok, pawon dan pekiwan. Gandhok merupakan ruangan belakang yang memanjang di sisi dalem ageng dan pringgitan. Sedangkan pawon merupakan bangunan di belakang dalem ageng dan terletak jauh dari tempat paling suci (senthong tengah/krobongan) fungsinya sebagai dapur. Ruangan yang berfungsi sebagai wc adalah pekiwan. Ruangan-ruangan yang dianggap ‘kotor’ ini diletakkan jauh-jauh dari ruangan-ruangan utama sebelumnya, seperti dalem ageng atau krobongan sebagai tempat suci pemujaan Dewi Sri.

Krobongan sebagai tempat suci bagi para penghuni rumah tradisi Jawa erat kaitannya dengan mitos dan kepercayaan masyarakat agraris Jawa terhadap Dewi Sri. Dewi Sri yang melambangkan kesuburan dan kebahagiaan dalam rumah tangga sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Jawa. Di ruangan sakral tersebut tersimpan benda-benda pusaka yang dipercaya memiliki kekuatan magis yang juga disertai dengan alat-alat penuh makna mistis yang dikaitkan dengan paham Hindu dan zaman neolitikum. Keberadaan krobongan dalam rumah tardisi Jawa menggambarkan dunia orang Jawa tidak dapat dipisahkan dari pemahaman tentang keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos. Segala sesuatunya selalu dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan alam, sesuatu yang metafisik, sebagaimana orang Jawa memahami rumah Jawanya. Keseimbangan kosmologi tersebut dibangun diatas pemahaman yang selalu dalam bentuk dualitas, seperti adanya siang-malam, panas-dingin, utara-selatan, dan laki-laki-perempuan; selain itu juga adanya makna simbolik yang mengacu pada tiga, empat atau lima kutub.

Kepustakaan

Widayat, Rahmanu. 2004. “Krobongan Ruang Sakral Rumah Tradisi Jawa”.
Dimensi Interior, Vol. 2 No. 1, hal. 1-21.
Hedy C. Indrani dan Maria Ernawati Prasodjo. 2005. “Tipologi, Organisasi Ruang, dan Elemen Interior Rumah Abu Han di Surabaya”.
Dimensi Interior, Vol. 3 No.1, hal-44-65.
Muqoffa, Muhammad. 2005. “Mengkonstruksikan Ruang Gender pada Rumah Jawa di Surakarta dalam Perspektif Kiwari Penghuninya”. Dimensi
Interior, Vol. 33 No.2, hal. 87-93.
Hidayatun, Maria I. 1999. “Pendopo dalam Era Modernisasi: Bentuk, Fungsi, dan Makna Pendopo pada Arsitektur Jawa dalam Perubahan Kebudayaan”. Dimensi TeknikArsitektur, 27, hal. 37-46.
Wibowo, HJ. dkk. 1987. Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta,
Yogyakarta : Depdikbud Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Hardjowirogo. 1982. Sejarah Wayang Purwa, Jakarta : PN. Balai Pustaka.
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-Kerajaan
Konsentris, Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Singh, Lisa. 1988. Patola, Kisah Kasih sehelai Kain, Buku Cindai, Pengembaraan Kain Patola India, Jakarta : Himpunan Wastraprema.
Soegeng. 1957. Sedjarah Kesenian Indonesia , Jakarta : Fasco.


* dikutip dari http://www.wacananusantara.org/2/385/filosofi-rumah-tradisional-jawa